Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Yudho Winarto
Lebih likuid
Sebagian investor obligasi ritel melepaskan kepemilikannya di pasar sekunder. Misalnya, mengacu data IBPA per April 2016, sukuk negara ritel menjadi obligasi negara yang paling banyak ditransaksikan, dengan total frekuensi 17.539 kali dan total nilai transaksi Rp 44,88 triliun.
Padahal, sejatinya obligasi negara ritel menyasar para investor ritel yang menggenggam hingga jatuh tempo alias hold to maturity.
Para investor ritel tergiur dengan tawaran institusi untuk menjual kepemilikan mereka. Namun, dengan minimnya transparansi harga, investor ritel kerap menjual obligasi milik mereka di bawah harga pasar.
Umumnya, institusi seperti manajer investasi, dana pensiun, perbankan, hingga asuransi berburu obligasi negara ritel. Seperti manajer investasi yang meracik obligasi ritel menjadi aset dasar produk reksadana campuran maupun reksadana pendapatan tetap.
Desmon menjelaskan, jika ETP mulai diterapkan, maka pasar obligasi akan lebih likuid. Sehingga tidak ada pembelian maupun penjualan obligasi dengan harga yang terlalu murah atau sebaliknya terlalu mahal.
Menurut Beben, penerapan ETP akan berdampak positif bagi pasar obligasi. Transaksi pasar surat utang akan menyerupai, bahkan sama dengan pasar saham. Investor dapat langsung membeli dan menjual efek tersebut sehingga dapat mendongkrak aktivitas pasar obligasi.
Bahkan, investor dapat memantau pembentukan dan perubahan harga obligasi. Transparansi bakal diprioritaskan. "Dengan pertimbangan risiko yang relatif lebih kecil dapat membuat investor lebih melirik obligasi dari pada saham," jelas Beben.
Namun menurut Beben, ada dua masalah utama yang bakal menjadi kendala dalam penerapan ETP. Kendala tersebut adalah bagaimana implementasi dan mekanisme perdagangannya. Apalagi masyarakat Indonesia terbilang masih awam dengan rencana pemerintah terkait sistem transaksi obligasi secara elektronik ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News