Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Perhelatan initial public offering (IPO) tak selamanya berjalan mulus. Pergerakan pasar saham yang dianalogikan seperti posisi beruang ketika sedang menyerang musuhnya, alias bearish, ditengarai sebagai biang keladi tertundanya IPO beberapa emiten.
Berdasarkan catatan KONTAN, ada tiga emiten yang batal mengeksekusi perhelatan IPO pada semester I lalu. Ketiga emiten tersebut adalah PT Bank Mualamat, PT Siloam Internasional Hospital, dan PT Eka Sari Lorena Transport.
Bahkan, Bank Muamalat sebelumnya sudah terlanjur melakukan due diligence meeting (DDM) pada 6 Juni lalu. Rencananya, Muamalat mengincar dana Rp 254,4 miliar-Rp 396,9 miliar dari penawaran saham itu.
Dari hasil wawancara KONTAN kepada sejumlah analis, ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab tertundanya pelaksaan IPO. Marciano Herman, Direktur Utama Danareksa Sekuritas, mengatakan, kondisi pasar memang menjadi salah satu dorongan atas aksi IPO. "Tapi, bukan selalu soal pasar, melainkan business modeling emiten itu sendiri," imbuhnya kepada KONTAN, Rabu (3/7).
Dia menjelaskan, kondisi pasar memang selalu fluktuatif dan tidak ada satu pihak pun yang bisa melawannya. Seperti yang terjadi belakangan ini misalnya. Asing mulai menarik dananya dari pasar modal Indonesia sehingga membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi loyo.
Hal tersebut terjadi lantaran masih banyaknya sentimen negatif yang berdatangan dari leader pasar modal global seperti Eropa, Amerika Serikat, dan China. Dari sisi domestik sendiri, tarik ulur kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu juga membuat investor asing merasa tidak nyaman dengan kondisi yang seperti itu. Apalagi beredar kabar jika rating pasar modal Indonesia akan diturunkan jika pemerintah tidak segera mengesahkan harga BBM yang baru.
Masih menurut Marciano, ketika BBM resmi naik, maka kenaikan ini mampu menekan daya beli masyarakat. Daya beli bakal terus tertekan selama pemerintah tidak mengkompensasikan kenaikan ini dengan kebijakan lain yang lebih efektif dan efisien.
Tapi, jika pemerintah bisa mengalokasikan hasil penghematan subsidi BBM untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan raya atau bahkan proyek MRT misalnya, maka ke depannya kenaikan harga BBM ini bisa menurunkan beban operasional semua industri yang mana multiplier effect-nya juga bisa menekan inflasi. Jika tingkat inflasi menurun, maka kinerja emiten bisa menjadi jauh lebih moncer. Pada akhirnya, hal tersebut bisa berdampak positif bagi pasar modal.
Dari penjelasannya itu, Marciano menyimpulkan, sektor yang paling prospektif kinerja keuangannya adalah sektor infrastruktur dan konsumer.
Target terlalu tinggi
Oktavianus Budiyanto selaku Direktur Kresna Graha Securindo juga memiliki pandangan serupa. Menurutnya, pergerakan pasar saham memang selalu fluktuatif karena dipengaruhi oleh sentimen baik positif dan negatif dari dalam dan luar negeri. Namun yang patut dicermati adalah kondisi fundamental emiten di Indonesia yang sebenarnya masih sangat baik.
"Tahun ini, pasar memang fluktuatif, itu satu hal yang tidak bisa dihindari. Beberapa alasan penundaan IPO yang dilakukan oleh sejumlah emiten dari sektor agribisnis memang dipengaruhi oleh prospek industri khususnya komoditas dan agribisnis yang memang sedang melemah, namun lambat laun juga akan positif kembali," jelas Oktavianus.
Alasan lain penundaan IPO yang dilakukan oleh sejumlah emiten adalah target perolehan dana hasil IPO yang terlalu tinggi. Jika harga penawaran saham perdana yang ditetapkan tidak terlalu tinggi, kemungkinan pelaksaan IPO akan tetap berjalan lancar.
Tapi, jika ternyata calon emiten merasa perolehan dana hasil IPO tidak mencapai target, mereka cenderung mengambil opsi penundaan IPO. "Tapi perlu diingat, siapa yang bisa memprediksi pasar sedangkan proses pelaksanaan IPO sudah berjalan enam bulan sebelumnya," papar Oktavianus.
Secara umum, lanjut Oktavianus, strategi lain agar pelaksanaan IPO tetap lancar dan meraih dana maksimal adalah dengan menjaring investor institusi dengan horizon investasi jangka panjang. Strategi itu juga dapat meredam fluktuatif harga saham perdana ketika pertama kali tercatat di BEI. Pasalnya, investor jangka panjang jarang sekali memperjual belikan saham seperti layaknya trader.
Lebih jauh Oktavianus menjelaskan, saat ini tren asing memang sedang menarik dananya keluar dari Indonesia. Namun, hal ini seharusnya tidak menjadi alasan tertundanya IPO. "Momen seperti ini seharusnya dipandang lebih positif karena dapat dimanfaatkan oleh investor domestik dengan mengakumulasi saham-saham berfundamental baik dengan harga yang telah terdiskon," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News