Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Harga logam industri nikel kembali terpukul oleh perlambatan ekonomi China setelah data PMI manufacturing negeri tirai bambu itu mencatat kontraksi. Setelah jeda hari libur umum di Inggris pada awal pekan ini, pergerakan nikel di hari pertama bulan September anjlok hingga 3% jika dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Mengutip Bloomberg, Selasa (1/9) pukul 18.19 WIB harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange turun 3% ke level US$ 9.760 per metrik ton. Meski demikian, selama sepekan harga nikel naik 1,6%.
Mayoritas harga komoditas termasuk nikel cukup terpukul dengan data Manufacturing PMI China yang turun menjadi 49,7 dari sebelumnya 50 dan perkiraan sebesar 49,8. Data manufaktur PMI China merupakan yang terburuk sejak Agustus 2012, menguatkan tekanan sektor manufaktur di tengah perlambatan ekonomi dan gejolak di pasar keuangan. Pesanan ekspor terbaru dari industri manufaktur juga berada di bawah level 50, menunjukkan kontraksi untuk bulan ke-11.
"PMI sesuai dengan harapan, namun ekspor sedikit lemah yang mungkin membuat khawatir pasar logam dasar, " ujar Daniel Hynes, senior commodities strategist di Australia and New Zealand Banking Group seperti dikutip Bloomberg.
Ibrahim, Analis dan Direktur PT Komoditi Ekuilibrium Berjangka mengatakan, saat ini China menjadi fokus utama pasar, mengingat negeri tembok raksasa itu merupakan salah satu konsumen terbesar tembaga di dunia. Masalah ekonomi di zona Eropa seperti perekonomian Yunani pun sudah tidak banyak mendapat sorotan.
Menurut Ibrahim, ada kekhawatiran China akan mengalami resesi sehingga mengancam harga komoditas. Padahal, pertumbuhan ekonomi di China sebenarnya masih cukup positif dengan perkiraan tahun ini sekitar 6,8% - 7%. "Karena tahun 2010 pertumbuhan ekonomi China sempat menyentuh angka 10%, proyeksi tahun ini terlihat jatuh," imbuhnya.
Di samping itu, harga komoditas juga terseret oleh spekulasi kenaikan suku bunga The Fed sehingga membuat indeks dollar AS semakin melambung. Lantaran kenaikan suku bunga belum jelas, pasar terus menerka berapa basis poin kenaikan tersebut. "Spekulasi kenaikan suku bunga bahkan telah berlangsung sejak tahun 2011 dan mengganggu harga komoditas termasuk nikel," imbuh Ibrahim.
Jika The Fed tidak menaikkan tingkat suku bunga di bulan September, spekulasi kenaikan suku bunga selanjutnya akan tetap membayangi harga nikel di tengah lesunya permintaan China.
Pekan ini, AS juga akan merilis beberapa data penting yang dapat mempengaruhi nikel. Diantaranya, data non-farm employment change yang diperkirakan naik menjadi 220.000 dari sebelumnya 215.000 dan unemployment rate yang diperkirakan turun menjadi 5,2% dari sebelumnya 5,3%. "Data tersebut dapat mempengaruhi kebijakan The Fed pada pertemuan FOMC selanjutnya, meski Bank Dunia dan IMF kemungkinan akan intervensi terkait kebijakan suku bunga," papar Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Reporter: Wuwun Nafsiah
Editor: Yudho Winarto