Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten semen di kuartal I 2025 kemungkinan masih berat. Sejumlah tantangan dari oversupply dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih harus dihadapi mereka di sepanjang tahun ini.
Sepanjang tahun 2024, kinerja emiten semen juga masih berat. Misalnya, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) mencatat volume penjualan 38,27 juta ton dengan pendapatan Rp 36,19 triliun tahun lalu. Ini turun 6,36% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu Rp 38,65 triliun.
Laba bersih tahun berjalan SMGR anjlok 66,84% secara tahunan alias year on year (yoy) menjadi Rp 719,76 miliar di tahun 2024. Sementara pada tahun sebelumnya, SMGR mencatatkan laba bersih senilai Rp 2,17 triliun.
Baca Juga: Indocement (INTP) Catat Penjualan Semen 3,9 Juta Ton di Kuartal I 2025
Corporate Secretary SMGR, Vita Mahreyni, mengungkapkan bahwa kinerja perusahaan sepanjang 2024 dipengaruhi kondisi pasar semen domestik yang terkontraksi serta perlambatan proyek infrastruktur. Untuk menghadapi tantangan tersebut, SIG menerapkan efisiensi ketat dan peningkatan operational excellence yang berkelanjutan.
“Langkah ini berhasil menurunkan beban pokok pendapatan sebesar 0,8% menjadi Rp 28,26 triliun serta menekan biaya keuangan bersih sebesar 20,2% menjadi Rp 944 miliar,” uajrnya dalam keterangan resmi.
PT Cemindo Gemilang Tbk (CMNT) mencatatkan pendapatan Rp 8,85 triliun per Desember 2024, turun 7,85% YoY. Cemindo membukukan rugi bersih Rp 716,25 miliar di tahun 2024, berbalik dari laba bersih Rp 154,80 miliar di tahun 2023.
Manajemen CMNT mengatakan, industri semen di Indonesia menghadapi kondisi pasar yang fluktuatif sepanjang tahun 2024. “ Ini seiring adanya penyesuaian permintaan dari sektor riil yang dipengaruhi oleh perubahan daya beli konsumen dan penjadwalan ulang beberapa proyek pemerintah terkait Pemilu dan Pilkada,” kata manajemen dalam keterangan resmi.
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) membukukan peningkatan pendapatan 3,33% YoY menjadi Rp 18,54 triliun di tahun 2024. Laba bersih perseroan juga naik 2,93% YoY tahun lalu. Volume penjualan semen dan klinker secara keseluruhan sebesar 20,49 juta ton pada tahun 2024, naik 5,9% YoY.
Baca Juga: Semen Indonesia (SMGR) Siap Buyback Saham Senilai Rp 300 Miliar
Per kuartal I 2025, INTP pun mencatatkan penjualan semen sebanyak 3,9 juta ton per kuartal I 2025. Corporate Secretary INTP, Dani Handajani mengatakan, perseroan juga mempertahankan pangsa pasar di level 30,1% hingga Maret 2025.
“Awal tahun diakui perseroan merupakan musim yang lesu untuk bisnis semen, karena masalah cuaca dan ditambah dengan bulan Ramadan dan libur Idulfitri,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (17/4).
Walaupun jumlah volume Indocement per kuartal I menurun 5,9% dibandingkan kuartal I 2023, tetapi performa volume industri menurun lebih tinggi lagi pada periode ini, yaitu 7,8%. “Hal ini menunjukan bahwa performa Indocement lebih baik dari performa industri semen,” ungkapnya.
Prospek Kinerja dan Rekomendasi Saham
INTP menyambut baik keputusan pembukaan kembali anggaran untuk proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di tahun 2025.
Sebelumnya, anggaran untuk proyek IKN sempat yang terdampak program efisiensi anggaran. Namun, pemblokiran itu sudah dibuka kembali usai mendapatkan persetujuan dari Komisi V DPR RI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pagu anggaran Otorita IKN dan usulan penambahan anggaran Rp 8,1 triliun juga resmi difinalisasi oleh Presiden Prabowo Subianto.
Dani memaparkan, keputusan tersebut menjadi angin segar untuk produsen semen di Indonesia. Sebab, dimulainya kembali pembangunan IKN akan mampu mendorong permintaan semen di Pulau Kalimantan yang selama kuartal I 2025 mengalami penurunan.
Baca Juga: Industri Semen Menantang, Indocement (INTP) Laksanakan Restrukturisasi Internal
“Namun, permintaan semen di IKN tahun ini diprediksi tidak akan sebanyak tahun 2023-2024 lalu,” paparnya.
Alhasil, masalah oversupply kemungkinan masih akan menghantui industri semen di tahun 2025.
Menurut Dani, memecahkan masalah oversupply semen di Indonesia tidak hanya bisa bertumpu dengan menambah proyek-proyek infrastruktur di Indonesia, tetapi juga membutuhkan konsistensi dalam penerapan beragam peraturan pemerintah.
“Seperti, pelarangan impor semen dan klinker serta moratorium pembangunan pabrik semen baru di seluruh wilayah Indonesia,” ungkapnya.
Tantangan lain yang dihadapi oleh INTP adalah menguatnya nilai tukar dolar terhadap rupiah. Hal ini berdampak secara langsung terhadap peningkatan biaya operasional perusahaan, terutama kepada biaya energi.
“Sumber energi industri semen masih didominasi dari batubara dan harga acuan batubara terpengaruh dari nilai tukar dolar AS,” tuturnya.
Meskipun menghadapi tekanan pasar, SMGR tetap optimistis terhadap prospek industri semen nasional di tahun 2025.
“Optimisme ini didasarkan pada komitmen pemerintah untuk melanjutkan proyek infrastruktur serta program pembangunan tiga juta rumah yang diharapkan dapat meningkatkan permintaan semen,” kata Vita.
Baca Juga: Semen Indonesia (SMGR) Kantongi Laba Rp 720 Miliar pada 2024
Senada, CMNT juga optimistis di tahun 2025. Perseroan telah mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan ketahanan finansial dan operasional.
Pada awal 2025, CMNT melakukan konsolidasi pinjaman bank dengan struktur pendanaan yang lebih optimal serta memperoleh tambahan dana untuk investasi belanja modal di sektor logistik.
“Dana ini akan digunakan untuk investasi aset logistik dan distribusi guna meningkatkan efisiensi operasional serta membangun infrastruktur logistik demi kepastian perencanaan distribusi yang lebih baik,” kata manajemen CMNT.
Direktur PT Rumah Para Pedagang, Kiswoyo Adi Joe melihat, kinerja emiten semen di tahun 2025 kemungkinan tidak akan jauh berbeda dari tahun 2024. “Kalaupun penjualannya naik, kemungkinan hanya akan 5% dalam setahun secara keseluruhan,” ujarnya kepada Kontan, Sabtu (19/4).
Menurut Kiswoyo, tantangan di industri semen memiliki dampak yang sama ke potensi pertumbuhan kinerja emiten semen.
Dibukanya anggaran IKN di tahun ini bahkan kemungkinan tak akan berdampak banyak untuk memperbaiki kondisi oversupply di industri semen domestik. Di sisi lain, permintaan semen juga masih rendah lantaran suku bunga tinggi memengaruhi permintaan rendah akan hunian.
Sehingga, kondisi keuangan masing-masing emiten lah yang bisa menjadi cermin dari prospek kinerja mereka di tahun ini. “INTP itu nyaris tak punya utang, sehingga otomomatis semua terkonsolidasi. Sementara, SMGR punya utang yang jumlahnya relatif besar,” paparnya.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menyatakan, kinerja emiten semen di kuartal I 2025 dihadapi oleh tantangan dari oversupply semen akibat rendahnya permintaan yang disebabkan pelemahan daya beli.
“Keberlanjutan proyek IKN menjadi angin segar, karena bisa meningkatkan permintaan semen bulk,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (20/4).
Di tengah pelemahan kinerja, harga saham emiten semen juga ikut tertekan sejak awal tahun. Saham SMGR dan INTP sudah turun masing-masing 25,53% dan 28,04% sejak awal tahun alias year to date (YTD). Saham CMNT juga memerah 3,41% YTD.
SMGR dan INTP pun melakukan pembelian kembali alias buyback saham dengan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai respons terhadap valuasi saham yang diniliai undervalue.
SMGR melakukan buyback saham senilai sebesar-besarnya Rp 300 miliar. sementara, INTP mengalokasikan dana maksimal sebesar Rp 2,25 triliun untuk pelaksanaan buyback tersebut.
Baca Juga: Solusi Bangun Indonesia (SMCB) Fokus Dorong Penggunaan Semen Rendah Karbon
Kiswoyo melihat, dibandingkan aksi buyback tersebut lah yang akan menyelamatkan kinerja saham kedua emiten tersebut. Aksi buyback dinilai sebagai langkah yang mencerminkan kepercayaan diri perusahaan akan kinerja mereka.
“Kalau emiten mencanangkan buyback, artinya mereka yakin kalau harga saham saat ini undervalued. Karena punya uang cash, jadi perusahaan beli dulu sahamnya dan dijual lagi ketika harganya naik,” ungkapnya.
Senada, Nafan juga melihat alasan buyback lantaran para emiten ingin menjaga keyakinan investor akan nilai pertumbuhan kinerja dalam jangka panjang. “Buyback ini juga menjadi sinyal bahwa emiten tersebut likuid dan bisa lebih likuid lagi setelahnya,” tuturnya.
Dus, Kiswoyo merekomendasikan beli untuk INTP dan SMGR dengan target harga masing-masing Rp 8.500 per saham dan Rp 7.000 per saham.
Sementara, Nafan merekomendasikan accumulative buy untuk INTP dan SMGR dengan target harga terdekat masing-masing Rp 5.625 per saham dan Rp 2.520 per saham. Rekomendasi wait and see diberikan untuk CMNT.
Selanjutnya: Dorong Pertumbuhan Premi, Tugu Insurance Genjot Semua Segmen Bisnis
Menarik Dibaca: Panduan Menata Keuangan Setelah Hari Raya Idul Fitri ala Bank Neo
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News