Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi dan nilai tukar rupiah tidak akan langsung anjlok meski suplai surat utang dari Amerika Serikat (AS) bertambah.
AS berencana menambah utang senilai US$ 3 triliun di kuartal II-2020 guna memenuhi anggaran penanggulangan pandemi corona. Salah satu cara dalam memperoleh utang tersebut AS akan menerbitkan surat utang pemerintahnya atawa US Treasury.
Research Analyst Capital Asset Management Desmon Silitonga memproyeksikan dampak AS yang menambah suplai surat utang tidak akan berpengaruh signifikan pada pasar obligasi pemerintah.
Baca Juga: Balas ancaman tarif Gedung Putih, China bisa melakukan hal ini kepada AS...
Desmon mengatakan yield US Treasury AS tidak akan naik terlalu tinggi meski suplai bertambah. Senada, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjio mengatakan yield AS tidak akan naik tinggi.
Rabu (6/5), yield US Treasury berada di 0,72%. Desmon mengatakan ada dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, yield US Treasury cenderung rendah dan investor berpotensi tidak tertarik dengan yield yang rendah. "Ada kemungkinan US Treasury diserap oleh The Fed karena bagi investor yield US Treasury terlalu rendah dan tidak menarik," kata Desmon.
Skenario kedua, yield yang rendah di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi corona, bisa membuat investor tetap tertarik pada obligasi AS. Apalagi jika yield US Treasury masih lebih tinggi dibandingkan dengan yield surat utang Jepang dan Eropa yang minus.
Baca Juga: AS akan terbitkan obligasi hingga US$ 3 triliun, bagaimana dampaknya ke Indonesia?
Meski begitu, Desmon memproyeksikan tawaran surat utang AS yang bertambah tidak akan langsung membuat capital outflow di pasar obligasi pemerintah. Penyebabnya, pada dasarnya Desmon melihat para pelaku pasar cenderung wait and see.
Head of Economics Research Pefindo Fikri C. Permana mengatakan yield US Treasury maupun obligasi pemerintah tidak akan langsung naik karena pada dasarnya tergantung supply dan demand. Perlu diingat, posisi US Treasury atau dolar AS di perekonomian global terkadang juga merupakan aset safe haven sekaligus global benchmark.
Skenario keluarnya asing di pasar SBN tentu bisa saja terjadi. Namun, perlu diingat kembali faktor fundamental. Terlebih spread yield US Treasury dengan Surat Utang Negara (SUN) masih di atas 700 basis poin. "Spread tersebut masih sangat menarik," kata Fikri.
Baca Juga: Sri Mulyani: BI perlu masuk ke pasar perdana SBN hingga Rp 242 triliun
Desmon memproyeksikan dalam jangka pendek yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor acuan 10 tahun berpotensi meningkat. Namun, faktor utama kenaikan yield bukan hanya berasal dari meningkatnya suplai surat utang AS. Melainkan, keputusan pelaku pasar juga dipengaruhi oleh data ekonomi.
Tapi, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia anjlok ke 2,97% untuk kuartal pertama 2020. Belum lagi, kuat diprediksikan perlambatan pertumbuhan PDB berlanjut ke kuartal II-2020.
Fikri menambahkan, mengukur risk appetite investor di tengah ketidakpastian ekonomi memang sulit. Oleh karena itu, kemungkinan capital outflow serta pergerakan rupiah masih sulit diprediksi.
Baca Juga: Pandemi covid-19 tidak menghalangi investor asing buru global bond BUMN
Desmon memproyeksikan yield SUN berpotensi stabil dalam jangka waktu dekat. Sementara, di kuartal keempat yield baru berpotensi turun ke 7,2%-7,5%. Begitu pun dengan nilai tukar rupiah diproyeksikan stabil atas intervensi BI di pasar keuangan dan pasar primer obligasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News