kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Sinarmas Agro (SMAR) sambut D100, emiten CPO lain belum bakal garap bisnis biodiesel


Senin, 03 Agustus 2020 / 09:45 WIB
Sinarmas Agro (SMAR) sambut D100, emiten CPO lain belum bakal garap bisnis biodiesel
ILUSTRASI. Kilang penampungan minyak sawit


Reporter: Nur Qolbi | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum lama ini, PT Pertamina (Persero) berhasil memproduksi bahan bakar diesel dengan 100% sawit atau yang disebut Green Diesel (D-100). Produk ini merupakan hasil olahan dari crude palm oil (CPO) yang diproses lagi menjadi fatty acid methyl ester (FAME) atau yang dikenal dengan nama biodiesel.

Saat ini, Pertamina baru bisa memproduksi D100 di Kilang Dumai dengan kapasitas 1.000 barel per hari (bph). Akan tetapi, Pertamina berencana terus meningkatkannya secara bertahap menjadi 6.000 bph, kemudian 20.000 bph pada tahun 2023.

Salah satu produsen biodiesel, yakni PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR) atau SMART menyambut baik rencana Pertamina tersebut. Investor Relations Sinar Mas Agribusiness and Food Pinta S. Chandra mengatakan, biodiesel di Indonesia merupakan sumber konsumsi tambahan bagi industri kelapa sawit.

Baca Juga: Program bahan bakar D100 berjalan, apa dampaknya ke emiten CPO?

Program biodiesel berperan strategis bagi industri sawit nasional dan juga perekonomian Indonesia karena dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pasar ekspor. "Dengan begitu, Indonesia dapat meningkatkan daya tawar produk sawit nya dan mengurangi impor minyak mentah," kata Pinta saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (30/7).

Meskipun begitu, Pinta menilai, pelaksanaan program D100 ini merupakan program jangka panjang yang membutuhkan berbagai dukungan, antara lain kesiapan fasilitas produksi, kesiapan industri pemakai, dan ketersediaan dana untuk subsidi. "Ekspansi kapasitas biodiesel yang SMART lakukan saat ini merupakan bentuk dukungan terhadap kebijakan biodiesel pemerintah," ucap dia.

Sebagai informasi, SMART tengah dalam proses peningkatan kapasitas produksi biodiesel sebesar 1.500 ton per hari. Dengan asumsi 300 hari kerja dalam setahun, maka kapasitas produksi per tahun adalah 450.000 ton.

SMART saat ini memiliki dua kilang biodiesel berlokasi di Marunda dan Tarjun yang masing-masing berkapasitas 300.000 ton per tahun. Dengan penambahan ini, SMART akan memiliki kapasitas produksi biodiesel sebesar 1,05 juta ton per tahun.

Baca Juga: Dharma Satya Nusantara (DSNG) mengejar target produksi 700.000 ton CPO tahun ini

Di sisi lain, emiten perkebunan dan pengolahan sawit yang lainnya belum berencana menggarap bisnis hilir ataupun memproduksi biodiesel dalam waktu dekat. PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) misalnya, saat ini masih fokus untuk melewati masa pandemi sehingga dalam jangka pendek, hanya melakukan investasi untuk hal mendasar yang tidak bisa dihindarkan, seperti penanaman kembali serta perbaikan infrastruktur dan pabrik.

Meskipun begitu, Direktur Utama AALI Santosa mengatakan, pada akhir tahun 2019, AALI berencana untuk memproduksi biodiesel demi mendukung program B30 pemerintah. Akan tetapi, pandemi Covid-19 ini mengharuskan AALI untuk menyimpan dana terlebih dahulu demi mengantisipasi dampak wabah yang berkepanjangan.

"Dalam jangka panjang, kami senantiasa mendukung program biodiesel karena sangat strategis untuk kebaikan industri dan daya saing nasional, namun timing dan kapasitas tentunya akan sangat tergantung pada kondisi," tutur Santosa.

Di samping itu, Santosa bilang, permintaan biodiesel yang masih lebih rendah dari kapasitas terpasang mengharuskan AALI untuk berhitung dengan cermat sebelum masuk ke bisnis ini.  Menurut Santosa, dengan kebutuhan B30 saat ini, permintaan biodiesel diperkirakan sekitar 9 juta ton dengan kapasitas terpasang secara industri sekitar 12 juta ton.

Kemudian, pembangunan kapasitas baru secara industri dalam dua sampai tiga tahun ke depan diperkirakan dapat bertambah 5-6 juta ton. "Oleh karena itu, kami harus benar-benar berhitung sehingga masih bisa memberikan return yang wajar. Kalau overcapacity, maka utilisasinya akan sangat rendah," ucap dia.

Menurut Santosa, saat ini, AALI melalui anak usaha PT Tanjung Sarana Lestari sudah bergerak di bisnis hilir CPO dengan mengoperasikan kilang penyulingan atau refinery berkapasitas 600.000 ton per tahun, tetapi belum menghasilkan FAME. Tanjung Sarana Lestari hanya menjualnya ke perusahaan yang mengolahnya menjadi FAME maupun untuk bahan makanan maupun kosmetik.

Baca Juga: Bahan bakar 100% sawit buatan Pertamina lebih bagus dibanding minyak solar

Lima emiten perkebunan dan pengolahan sawit lainnya, yaitu PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS), PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG), PT Mahkota Group Tbk (MGRO), dan PT Cisadane Sawit Raya Tbk (CSRA) juga belum akan menggarap bisnis ini dalam waktu dekat.

Head of Investor Relations SGRO Michael Kesuma mengatakan, saat ini, SGRO masih fokus di bisnis hulu.

"Terkait strategi pengembangan usaha masih terbuka lebar karena kami memang memiliki rencana jangka panjang dalam industri sawit. Namun, saat ini kita masih menaruh fokus pada kondisi new normal dulu," kata Michael.

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan MGRO Elvi mengatakan, perusahaannya dapat saja mendukung dari sisi penyediaan kebutuhan bahan baku untuk produksi biodiesel. "Namun, untuk melakukan produksi sendiri akan menjadi rencana jangka panjang bagi perusahaan karena tentunya membutuhkan dana investasi yang tidak sedikit," ucap Elvi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×