Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Sejak pekan lalu, pasar surat utang Indonesia mulai koreksi. Terlihat pada yield Surat Utang Negara (SUN) seri acuan bertenor 11 tahun yakni FR0056 yang menggemuk dari semula 7,68% pada akhir April 2016 menjadi 7,93% pada Selasa (24/5). Jika yield obligasi naik, secara otomatis harga obligasi merosot.
Analis Fixed Income MNC Securities I Made Adi Saputra menjelaskan, tertekannya performa obligasi dalam negeri dimulai dari rilis pertumbuhan ekonomi Tanah Air yang kurang sesuai dengan prediksi. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia per kuartal I 2016 tercatat 4,92% (yoy), lebih rendah dari estimasi 5%.
Katalis negatif tambahan bersumber dari hasil notulensi pertemuan pejabat Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed tanggal 26 April 2016 - 27 April 2016 yang mengindikasikan ada kenaikan suku bunga acuan pada rapat Juni 2016 jika ekonomi pulih.
Acuannya, yakni data ketenagakerjaan, inflasi, hingga upah. Konsensus menunjukkan peluang terkereknya suku bunga The Fed menggemuk dari semula 10% menjadi 28% sejak hasil notulensi tersebut dirilis.
BI pun mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) di level 6,75% serta BI seven days reverse repo rate pada 5,5% dalam pertemuan 18 Mei 2016 - 19 Mei 2016. Selain itu, BI juga merevisi proyeksi perekonomian Indonesia tahun 2016 dari semula 5,2% - 5,6% menjadi 5% - 5,4%.
Kinerja mata uang Garuda yang menembus level Rp 13.600 per dollar AS turut mempengaruhi harga obligasi. "Mata uang dollar AS menguat terhadap mata uang global, rupiah merupakan salah satu yang terparah. Asing pun mulai melakukan penjualan," terangnya. Sebab, investor asing memang masih terpapar risiko mata uang kala mengkonversikan hasil investasinya kembali menjadi dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News