Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Harga timah yang terus turun sejak tahun lalu membuat perusahaan memutar otak untuk mempertahankan bisnis. PT Timah (Persero) Tbk (TINS) misalnya. Perusahaan ini agresif menggenjot kontribusi dari luar bisnis timah menjadi 25% dari total pendapatan.
Walau begitu Direktur Utama TINS Sukrisno mengaku perusahaannya tak akan beralih dari bisnis utama sebagi produsen timah. Apalagi saat ini kontribusi dari bisnis timah menguai 95% total pendapatan TINS. Tahun ini TINS akan menggenjot konstribusi pendapatan di luar timah dari sebelumnya 5% menjadi 25% pendapatan.
TINS akan mengejar pertumbuhan laba dan pendapatan hingga dua kali lipat dari tahun lalu. "Target pendapatan tahun ini kira-kira hampir Rp 10 triliun dan laba bersih Rp 1 triliun. Porsi dari timah akan berkurang menjadi 75% dari pendapatan," kata Sukrisno.
Kepala Riset Buana Capital Suria Dharma mengatakan ekspansi TINS di luar produk timah dilakukan dengan diversifikasi bisnis di bidang properti dan rumah sakit. TINS saat ini memiliki tabungan lahan alias land bank seluas 176 hektare (ha) yang berlokasi di Bekasi. Dan akan berduet dengan dua perusahan plat merah lainnya yakni, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) untuk menggarap bisnis ini.
Analis Ciptadana Sekuritas Hasan dalam risetnya pada 6 Maret 2015 mengatakan, di atas lahan tersebut perseroan akan membangun kawasan mixed-used. "Dalam sektor properti ini TINS berharap sudah dapat menghasilkan pendapatan di akhir tahun 2015," tulis dia. Untuk membangun kawasan tersebut, TINS telah menyiapkan dana sekitar Rp 1 triliun yang berasal dari dana kas internal perseroan.
Sementara untuk bisnis sektor rumah sakit akan berlokasi di Bangka Belitung. Suria mejelaskan, sebelumnya memang TINS sudah memiliki rumah sakit yakni RS Bakti Timah. "Dulu, rumah sakit itu berupa yayasan namun di tahun ini perusahaan akan mulai mengkomersialkan dengan membangun perusahaan baru," tukasnya.
Hasan memperkirakan dengan adanya bisnis rumah sakit ini dapat mendukung peningkatakan pada top line perseroan. Bahkan ia berharap, bisnis ini sudah bisa mulai berkontribusi ke pendapatan TINS di tahun ini.
Namun Suria kurang yakin dengan diversifikasi bisnis yang dilakukan perseroan. "Pasalnya bisnis yang dipilih berbeda jauh dengan core bisnis TINS," katanya.
Ia juga memprediksi di tahun ini penerapan penggunaan timah akan cenderung mendatar. Hal tersebut terlihat dalam 10 tahun terakhir pertumbuhan tahunan atau compound annual growth rate (cagr) penggunaan timah hanya sebesar 0,71%.
Seperti solder yang merupakan penggunaan terbesar dunia dari logam timah, menyumbang sekitar 50% dari penggunaan global dan memiliki cagr 1,35% pada tahun 2004 hingga 2013. Apalagi, di sisi lain, harga timah terus menurun menjadi US$ 18.000 perton pada Februari 2015 atau 19,4% di bawah harga rata-rata bulanan selama lima tahun terkahir yakni US$ 22,342.
Mengenai harga timah, Hasan menyebutkan manajemen TINS bisa bergabung dengan pemerintah dalam merencanakan moratorium ekspor timah untuk mempertahankan harga timah. Demi mengembalikan harga timah, pemerintah juga berencana untuk mengurangi produksi timah menjadi 45.000 ton di tahun ini. "Upaya tersebut untuk membawa harga timah kembali ke level US$ 21.000 per metrik ton pada tahun 2015," tambah dia.
Suria dan Hasan sama-sama merekomendasikan hold dan menargetkan harga masing-masing di Rp 1.005 dan Rp 1.110.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News