kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Simak Catatan Analis Terkait IPO dan Rekomendasi Saham Emiten BUMN


Senin, 06 Februari 2023 / 06:45 WIB
Simak Catatan Analis Terkait IPO dan Rekomendasi Saham Emiten BUMN


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak ada jaminan emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan afiliasinya punya kinerja yang mentereng di bursa saham. Meski begitu, pelaku pasar cenderung antusias mengoleksi saham perusahaan plat merah.

Terbaru, ada PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang bakal menambah daftar emiten plat merah di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pertamina Geothermal melepas sebanyak-banyaknya 25% saham ke publik lewat Initial Public Offering (IPO).

Anak usaha PT Pertamina (Persero) di bidang panas bumi ini mematok harga penawaran di rentang Rp 820 - Rp 945 per lembar saham. Dari aksi korporasi ini Pertamina Geothermal berpotensi mengantongi dana segar hingga Rp 9,78 triliun.

Research Analyst Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani, melihat emiten terkait BUMN masih punya daya tarik bagi pelaku pasar. Di samping reputasi, persepsi investor masih cenderung menilai kinerja emiten BUMN bisa stabil dengan potensi return jangka panjang yang menarik.

Nilai tambah lainnya, kelangsungan usaha emiten BUMN dianggap lebih terjamin, misalnya saja ketika tertimpa persoalan tumpukan utang.

"Ekspektasinya tingkat return lebih konsisten dan terjamin dibandingkan swasta. Secara logika, kemungkinan bankruptcy juga lebih rendah," ujar Arjun kepada Kontan.co.id, Minggu (5/2).

Baca Juga: IPO BUMN Cukup Ramai di 2023, Begini Kata Analis

Kepala Riset Aldiracita Sekuritas Agus Pramono menyoroti jika dalam proses IPO, daya tarik terhadap emiten BUMN bisa terlihat dari hasil penawaran umum. Kelebihan permintaan (oversubscribed) mencerminkan antusiasme pasar terhadap IPO calon emiten.

Contohnya emiten anak BUMN yang baru tahun lalu menggelar IPO, yakni PT Adhi Commuter Properti Tbk (ADCP). Kala itu, diinformasikan bahwa ADCP mencatatkan oversubscribed hingga 14,4 kali pada hari perdana penawaran umum.

Hanya saja, Agus mengingatkan setelah resmi melantai di pasar saham, investor relatif tidak lagi membedakan antara saham BUMN maupun perusahaan swasta. Menurut Agus, semuanya akan berpulang pada dua faktor utama dari sisi internal dan eksternal.

Meliputi fundamental & valuasi sahamnya serta kondisi pasar saham dan sektor emiten. "Investor akan lihat juga gearing ratio-nya, utang, dan kualitas perusahaan menghasilkan earnings seperti apa," imbuh Agus.

Pengamat Pasar Modal, Fendi Susiyanto, menambahkan, pergerakan harga saham selepas IPO akan turut dipengaruhi oleh strategi penentuan harga saat masa penawaran. Tak perlu mahal, bahkan jika harga IPO sudah nyaris sama dengan valuasi harga wajarnya, minat investor bisa saja berkurang.

Sebab, investor akan lebih tertarik mengakumulasi saham yang memberikan harga diskon saat IPO. Setidaknya, saham itu menawarkan ruang kenaikan harga (potential upside) yang menarik.

Meski secara fundamental solid, tapi jika ruang potensial upside sempit, investor akan menunggu ada penyesuaian harga di pasar saham.

"Misal valuasi sahamnya Rp 800, terus harga IPO sama atau mendekati itu, kan potensial upside-nya kecil sekali. Contohnya mau jual-beli barang yang harga wajarnya Rp 1 juta, orang kan berharap bisa beli seharga Rp 700 ribu ketika launching, biar nanti saat dijual untungnya menarik," terang Fendi.

Dalam catatan Kontan.co.id, ada beberapa emiten anak usaha BUMN yang saat ini harga sahamnya di bawah harga IPO. Di antaranya PT WIKA Bangunan Gedung Tbk (WEGE).

Baca Juga: Simak Daftar 38 Perusahaan yang Hendak IPO dan Melantai di BEI

Hingga penutupan Jum'at (3/2), saham WEGE ada di posisi Rp 148, jauh di bawah harga IPO pada 30 November 2017 sebesar Rp 290.

Nasib serupa dialami ADCP. Harga saham anak usaha PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) ini kini ada di level Rp 72. Padahal pada 23 Februari 2022 lalu, ADCP melantai di BEI dengan harga penawaran sebesar Rp 130 per lembar saham.

Sesama di sektor properti, nasib PT PP Properti Tbk (PPRO) lebih nahas lagi. Anak usaha PT PP (Persero) Tbk (PTPP) ini terperangkap di level gocap. Ketika melantai di BEI pada 19 Mei 2015, PPRO mematok harga IPO Rp 185 per lembar saham.

Pergerakan saham emiten menara telekomunikasi anak PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) juga belum menjulang. Harga saham PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk alias Mitrarel (MTEL) ada di Rp 675, di bawah harga IPO pada 22 November 2021 sebesar Rp 800 per lembar saham.

Arjun menyoroti, kondisi di atas mencerminkan bahwa setelah melantai di bursa saham, investor cenderung tak lagi membedakan antara BUMN atau swasta. Fokusnya lebih kepada kondisi fundamental, valuasi, dan prospek bisnis emiten.

Dari saham-saham di atas, penurunan harga tak lagi terkait dengan IPO BUMN, melainkan fundamental yang tidak apik atau valuasi yang kurang menarik karena overvalued. Apalagi dengan kapitalisasi pasar yang tergolong kecil-menengah (small-mid caps) seperti PPRO dan WEGE.

Faktor lain yang menentukan adalah momentum pasar saham dan sentimen sektoral. Arjun mencontohkan ADCP yang menggelar IPO di tengah tekanan sektor properti akibat tren kenaikan suku bunga dan lonjakan harga bahan baku pada tahun lalu.

"Kalau kita lihat grafik saham ADCP harganya sudah mulai anjlok sejak tengah September 2022, ketika periode BI sudah melakukan kebijakan kenaikan suku bunga secara agresif untuk mengatasi inflasi," terang Arjun.

Sementara itu, saham MTEL kondisinya masih terbilang overvalued dibandingkan rata-rata emiten telekomunikasi. "Jadi wajar kalau saham ini mengalami tren penurunan," imbuh Arjun.

Rekomendasi Saham

Sedangkan untuk PGEO yang sedang proses IPO, Arjun belum merinci analisa terkait valuasinya. Hanya saja, sektor PGEO di industri energi terbarukan bisa menjadi daya tarik di tengah momentum gencarnya transisi energi.

"Geothermal energi merupakan bidang prospektif serta potensi pasarnya meningkat di masa depan. Jadi menurut saya PGEO bisa menarik," kata Arjun.

Financial Expert Ajaib Sekuritas Chisty Maryani melihat, kinerja saham BUMN masih punya prospek pertumbuhan yang menarik. Terutama pada emiten BUMN jumbo, seperti di sektor perbankan dan energi.

Chisty menyoroti IDX BUMN20 yang mampu mencetak return 10,42% sepanjang tahun 2022. Jauh lebih tinggi dibandingkan return IHSG yang sebesar 4,1% maupun indeks prestisius LQ45 yang hanya mencatatkan return 0,62%.

Untuk rekomendasi pada tahun ini, setiap sektor punya prospek berbeda. Perbankan ditaksir masih tumbuh solid. Kemudian, saham energi tergantung dari pergerakan harga komoditas. Sedangkan kinerja sektor konstruksi masih akan terhambat, termasuk karena efek kenaikan suku bunga.

Angin segar bisa dihirup oleh emiten konstruksi dari mulai bergulirnya proyek Ibu Kota Negara (IKN) pada tahun 2023. "Namun katalis positif itu bersifat sementara dan belum tentu terefleksikan di dalam kinerja perusahaan," jelas Chisty.

Emiten bank bigcaps BUMN masih menjadi jagoan. Seperti saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) yang punya potensial upside ke harga Rp 4.940. Pada perdagangan Jum'at (3/2), saham BBRI menguat 3,26% ke harga Rp 4.750.

Berikutnya PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) dengan target harga Rp 9.950. Posisi harga saham BBNI saat ini ada di Rp 9.300. Untuk emiten tambang, Chisty merekomendasikan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dengan target kenaikan jangka pendek ke Rp 2.400 dari posisi sekarang di Rp 2.330.

Rekomendasi selanjutnya adalah sektor telekomunikasi, yakni TLKM dan MTEL. Harga saham TLKM berpeluang naik ke level Rp 4.000 dari harga saat ini di Rp 3.880. Sedangkan MTEL punya potensi kenaikan ke level harga Rp 720 per lembar saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×