Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
Pengamat Pasar Modal, Fendi Susiyanto, menambahkan, pergerakan harga saham selepas IPO akan turut dipengaruhi oleh strategi penentuan harga saat masa penawaran. Tak perlu mahal, bahkan jika harga IPO sudah nyaris sama dengan valuasi harga wajarnya, minat investor bisa saja berkurang.
Sebab, investor akan lebih tertarik mengakumulasi saham yang memberikan harga diskon saat IPO. Setidaknya, saham itu menawarkan ruang kenaikan harga (potential upside) yang menarik.
Meski secara fundamental solid, tapi jika ruang potensial upside sempit, investor akan menunggu ada penyesuaian harga di pasar saham.
"Misal valuasi sahamnya Rp 800, terus harga IPO sama atau mendekati itu, kan potensial upside-nya kecil sekali. Contohnya mau jual-beli barang yang harga wajarnya Rp 1 juta, orang kan berharap bisa beli seharga Rp 700 ribu ketika launching, biar nanti saat dijual untungnya menarik," terang Fendi.
Dalam catatan Kontan.co.id, ada beberapa emiten anak usaha BUMN yang saat ini harga sahamnya di bawah harga IPO. Di antaranya PT WIKA Bangunan Gedung Tbk (WEGE).
Baca Juga: Simak Daftar 38 Perusahaan yang Hendak IPO dan Melantai di BEI
Hingga penutupan Jum'at (3/2), saham WEGE ada di posisi Rp 148, jauh di bawah harga IPO pada 30 November 2017 sebesar Rp 290.
Nasib serupa dialami ADCP. Harga saham anak usaha PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) ini kini ada di level Rp 72. Padahal pada 23 Februari 2022 lalu, ADCP melantai di BEI dengan harga penawaran sebesar Rp 130 per lembar saham.
Sesama di sektor properti, nasib PT PP Properti Tbk (PPRO) lebih nahas lagi. Anak usaha PT PP (Persero) Tbk (PTPP) ini terperangkap di level gocap. Ketika melantai di BEI pada 19 Mei 2015, PPRO mematok harga IPO Rp 185 per lembar saham.
Pergerakan saham emiten menara telekomunikasi anak PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) juga belum menjulang. Harga saham PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk alias Mitrarel (MTEL) ada di Rp 675, di bawah harga IPO pada 22 November 2021 sebesar Rp 800 per lembar saham.
Arjun menyoroti, kondisi di atas mencerminkan bahwa setelah melantai di bursa saham, investor cenderung tak lagi membedakan antara BUMN atau swasta. Fokusnya lebih kepada kondisi fundamental, valuasi, dan prospek bisnis emiten.
Dari saham-saham di atas, penurunan harga tak lagi terkait dengan IPO BUMN, melainkan fundamental yang tidak apik atau valuasi yang kurang menarik karena overvalued. Apalagi dengan kapitalisasi pasar yang tergolong kecil-menengah (small-mid caps) seperti PPRO dan WEGE.