Reporter: Raka Mahesa W |
JAKARTA. Kementerian Perdagangan menetapkan bea keluar (BK) minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) yang berlaku untuk Maret 2011 sebesar 25%, alias sama dengan BK Februari 2011. Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010 memang menyebutkan bahwa jika harga referensi CPO lebih dari US$ 1.250 per ton, maka tarif BK ditetapkan 25%.
Pemerintah menetapkan BK CPO berdasarkan harga referensi CPO di Bursa Rotterdam. Dengan kata lain, semakin tinggi harga referensi CPO di sana, kian tinggi pula BK CPO yang dikenakan.
Nah, besar kecil BK yang mengikuti harga CPO itu mempengaruhi kinerja emiten CPO, seperti PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO). Kendati ekspor SGRO hanya 10% dari hasil produksi, tetap saja harga jual produksi CPO SGRO akan terpengaruh.
Fakta di lapangan, harga CPO di pasar lokal selalu mengikuti harga jual bersih di pasar internasional yang sudah dikurangi BK. “Sebab, jumlah produksi CPO dalam negeri lebih besar daripada kebutuhan pasar domestik,” kata Frederick Daniel Tanggela Sucorinvest Central Gani, Kamis (10/3).
Pembeli trader
Baik Frederick maupun Lanang Trihardian, Analis Syailendra Capital, sepakat memastikan tarif BK sangat menentukan harga jual CPO. Apalagi, pembelian CPO lebih banyak dilakukan oleh para trader. “Mereka turut menghitung BK CPO untuk menentukan harga pembelian," tutur Lanang.
Akibat tanggungan BK CPO tersebut, Frederick menghitung kenaikan harga rata-rata CPO SGRO tahun ini hanya 16%. Kenaikan tersebut lebih rendah dibandingkan kenaikan harga rata-rata benchmark tahun ini yang sebesar 22%.
Dalam hitungan Frederick harga rata-rata CPO berkisar US$ 1.100 per ton. Adapun proyeksi Lanang, harga rata-rata CPO tahun ini naik 14,71% menjadi US$ 1.021 per ton.
Namun SGRO akan terbantu pertumbuhan luas lahan yang menghasilkan. Produksi SGRO juga akan lebih berlimpah karena cuaca tahun ini diprediksikan akan lebih baik daripada tahun lalu.
Frederick memperkirakan, penjualan CPO SGRO akan naik mengiringi pertumbuhan produksi. Dalam prediksi Frederick, volume penjualan CPO SGRO sebesar 295.000 ton, meningkat 11,67% daripada realisasi penjualan 2010.
Ujung-ujungnya, nilai penjualan SGRO sepanjang 2011 bisa meningkat 19,01% dari estimasi tahun sebelumnya menjadi Rp 2,60 triliun. Proyeksi Frederick, laba bersih untuk 2011 senilai Rp 506 miliar meningkat 22,81% daripada estimasi 2010.
Di Shui, Analis CLSA Asia Pacific Markets memproyeksikan pendapatan SGRO tahun 2011 meningkat 21,50% menjadi Rp 2,64 triliun. Sedang laba bersih diproyeksikan meningkat 17,84% menjadi Rp 436 miliar.
Frederick dan Lanang merekomendasikan beli untuk SGRO masing masing dengan target harga Rp 4.225 per saham dan Rp 3.400 per saham. “Tapi target tersebut bisa berubah. Proses update target harga masih menunggu laporan keuangan SGRO 2010,” kata Frederick.
Laporan Di Shui memuat rekomendasi underperform dengan target harga Rp 2.975 per saham. Harga SGRO, penutupan Kamis (10/3), tetap Rp 2.825 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News