Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks sektor pertambangan (mining) menjadi salah satu penjegal langkah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang 2019. Indeks sektor pertambangan tumbuh negatif 12,83%.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan indeks sektor ini tumbuh negatif. Analis Henan Putihrai Sekuritas Liza Camelia Suryanata menilai, anjloknya kinerja indeks sektor pertambangan tidak bisa lepas dari turunnya harga batubara sepanjang 2019.
Hal ini diakibatkan oleh berlebihnya pasokan (supply) batubara di pasar global.
Baca Juga: Kinerja indeks saham sektor tambang rontok tahun lalu, ini biang penyebabnya
Di sisi lain, Analis Artha Sekuritas Nugroho Rahmat Fitriyanto menilai pergerakan indeks sektor pertambangan diperberat oleh emiten-emiten batubara karena harga batubara yang turun signifikan pada 2019, sehingga menyebabkan harga jual dan marjin ikut tertekan.
Ke depan, Nugroho menilai kinerja sektor pertambangan akan bergantung pada kesepakatan dagang antara Amerika Serikat – China. Jika kesepakatan dagang fase I berjalan lancar, maka akan mengarah ke penurunan tensi perang dagang.
“Lebih lanjut akan berdampak pada perdagangan global yang berpotensi lebih baik dibanding ekspektasi,” ujar Nugroho.
Dengan demikian, maka tren Purchasing Managers’ Index (PMI) global bisa kembali bangkit dan bakal meningkatkan permintaan semua komoditas, termasuk batubara.
Baca Juga: Ditawarkan mulai besok, harga IPO Ashmore Asset Management Rp 1.900 per saham
Senada, Liza menilai komoditas pertambangan masih bergantung pada perkembangan perang dagang AS-China. Sebab, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump merupakan sumber ketidakpastian yang tidak dapat dikendalikan.
Meski dianggap tidak ramah lingkungan, namun energi dari batubara masih tetap akan digunakan. Sebab, batubara merupakan salah satu sumber energi termurah untuk saat ini.
Baca Juga: BUMI menunggu kepastian perpanjangan kontrak Arutmin Indonesia
Khusus untuk komoditas nikel, Liza menilai harga nikel akan terangkat seiring dengan dilarangnya ekspor bijih nikel.
“Nikel juga punya masa depan ke mobil listrik tapi itu juga masih lama. Namun adanya larangan ekspor ini pasti akan membuat harga nikel bersaing. Karena supply nya juga mulai tertekan,” ujar Liza.
Di sisi lain, Chief Economist dan Analis Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian mengatakan, dalam jangka pendek belum ada sentimen positif yang menggerakkan sektor ini.
Baca Juga: Harga batubara melemah, United Tractors (UNTR) kembali revisi target penjualan
Namun jika ada data-data perekonomian China yang membaik, maka sektor pertambangan diproyeksikan akan membaik setidaknya pada paruh kedua 2020.
Meski demikian, Nugroho menyarankan agar investor mencermati emiten sektor batubara. Sebab, industri batubara sendiri masih menghadapi banyak ancaman seperti tingginya level inventori (cadangan) di China saat ini serta produksi batubara yang masih bertumbuh.
“Pembatasan impor batubara China juga masih menjadi sentimen negatif untuk harga batubara,” tutup Nugroho.
Baca Juga: Bukit Asam (PTBA) Siap Memulai Proyek Gasifikasi Batubara
Liza merekomendasikan untuk jual untung saham ADRO dengan target harga Rp 1.450 – Rp 1.500 per saham. Untuk saham INCO, Liza merekomendasikan untuk hold dengan target harga Rp 3.750 per saham.
Sebab, ada peluang bagi saham INCO untuk menembus level Rp 4.000 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News