Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Secara year-to-date, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya tumbuh 2,18% sejak awal tahun hingga Jumat (27/12). Meski demikian, terdapat beberapa indeks sektoral yang mencatatkan kinerja cukup apik sepanjang tahun ini.
Indeks sektor keuangan misalnya. Melansir dari data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks sektor ini telah menguat 15,72% secara ytd. Indeks sektor industri dasar dan kimia juga melesat 16,29% sejak awal tahun.
Pun begitu dengan sektor properti dan real estate yang sejak awal tahun telah menguat 11,97%. Lantas, bagaimana nasib sektor-sektor jawara ini tahun depan?
Baca Juga: Makin tergeser, HMSP masih masuk daftar 10 emiten dengan market cap terbesar
Chief Economist dan Analis Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian menebak sektor keuangan akan tetap menjadi sektor jawara tahun depan. Sebab, saat ini suku bunga masih mengalami tren menurun. Selain itu, likuiditas perbankan juga dinilai akan membaik tahun depan.
Selain itu, sektor industri dasar dan kimia juga akan diuntungkan dengan adanya kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah , diantaranya mendorong perusahaan-perusahaan untuk menggenjot ekspor.
Sementara itu, Analis Henan Putihrai Sekuritas, Liza Camelia Suryanata menaruh pilihan pada sektor telekomunikasi dan barang konsumsi (consumer goods). Salah satu emiten yang diprediksi akan mengalap berkah adalah PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR).
Sebab, emiten ini menyediakan kebutuhan pokok (staple goods) yang dibutuhkan semua kalangan. “Biar bagaimanapun, apapun kondisinya orang-orang akan membutuhkan produk-produknya untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Liza.
Baca Juga: Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) terdepak dari 10 emiten berkapitalisasi terbesar
Kedua analis ini sepakat bahwa pertumbuhan sektor properti dan real estate akan meredup tahun depan. Hal ini tidak lepas dari turunnya daya beli masyarakat di saat perekonomian sedang jalan di tempat.
“Karena bagaimana pun real estate itu akan naik jika masyarakat sudah punya pendapatan lebih,” terang Fakhrul.
Fakhrul juga menilai sektor aneka industri dapat terkerek dengan naiknya harga crude palm oil (CPO). Kenaikan harga CPO ini akan berdampak positif bagi emiten otomotif seperti PT Astra International Tbk (ASII).
Fakhrul bilang, harga CPO biasanya memiliki korelasi yang sangat positif terhadap penjualan sepeda motor. Sebab, industri CPO merupakan industri padat karya yakni menggunakan tenaga kerja yang banyak. Dengan kenaikan upah akibat naiknya harga CPO, maka pembelian sepeda motor akan naik.
Selain sektor properti, ada pula sektor yang diperkirakan masih meredup tahun depan. Fakrul mengatakan, sektor pertambangan belum mendapat sentiment positif dalam jangka pendek.
Namun jika ada data-data perekonomian China yang menggembirakan, ia melihat sektor pertambangan akan membaik setidaknya pada paruh kedua 2020.
Baca Juga: Pertumbuhan ekonomi loyo, kinerja IHSG kurang bergairah di tahun ini
Berbeda dengan Liza, Fakhrul menilai sektor barang konsumsi akan cukup tertekan pada tahun depan. Sebab, komponen biaya hidup akan naik yang diakibatkan salah satunya adalah kenaikan biaya BPJS kesehatan. Selain itu, kemungkinan ada juga kenaikan harga barang-barang yang telah diatur oleh pemerintah.
“Kami melihat adanya potensi untuk menekan daya beli. Salah satunya juga disebabkan adanya kenaikan cukai rokok,” lanjut Fakhrul.
Sektor infrastruktur dan konstruksi juga belum mendapat katalis positif tahun depan. Proyek pembangunan ibukota baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sepertinya masih jauh panggang dari api.
Tahun depan juga diperkirakan proyek-proyek infrastruktur hanya sedikit yang dikaver oleh APBN. Sedangkan selebihnya, emiten-emiten konstruksi khususnya BUMN harus mencari pembiayaan sendiri. Buktinya, ada beberapa emiten konstruksi yang bakal menerbitkan obligasi sebagai sumber pembiayaan.
Baca Juga: Kinerja IHSG sepanjang tahun ini kurang memuaskan, bagaimana tahun depan?
Namun, akibat dari penerbitan surat utang ini adalah adanya risiko leverage yang tinggi. “Dikhawatirkan dapat mengakibatkan cashflow negatif yang merupakan penyakit bagi perusahaan kosntruksi,” ujar Liza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News