Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri Manufaktur Indonesia makin tertekan. Di akhir kuartal III 2019, IHS Markit merilis data rata-rata pertumbuhan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia 49,2 yang dinilai paling rendah sejak akhir tahun 2016.
Adapun melemahnya industri manufaktur sejalan dengan indeks sektor manufaktur di Bursa yang kinerjanya minus 10,85% secara year to date (YTD) per 31 September 2019.
Indeks sektor manufaktur menjadi sektor ketiga yang paling tertekan selama periode YTD. Analis merekomendasikan investor untuk wait and see karena data PMI tidak sesuai ekspektasi.
Baca Juga: Sektor manufaktur tertekan, Phapros (PEHA) tetap kokoh
Vice President Research Artha Sekuritas Frederick Rasali menjelaskan sebenarnya dalam kondisi apa pun investor harus selalu berhati-hati dalam berinvestasi. Keputusan investasi yang tidak didasarkan atas kehati-hatian tentunya akan memiliki risiko yang tinggi.
“Bicara keadaan, tidak hanya Indonesia tapi semua negara besar mengalami kontraksi PMI yaitu di bawah 50.0. artinya akan lebih baik investor untuk bersikap defensive hingga kondisi ekonomi membaik,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (1/10)
Frederick menjelaskan secara umum manufaktur untuk produk yang bersifat maintenance masih menarik misalnya spare part mobil. Menurut Frederick jumlah populasi mobil yang ada tentunya tidak banyak berkurang walau penjualan mobil baru melambat.
Baca Juga: Industri manufaktur melemah, emiten farmasi ikut tertekan
Di samping itu consumer goods juga dapat menjadi pilihan terutama yang menargetkan seluruh segmen ekonomi atau yang menengah ke bawah.
Analis Oso Sekuritas menambahkan saat ini investor bisa gunakan strategi wait and see karena data PMI tidak sesuai dengan harapan atau masih di bawah level 50. “Artinya kondisi masih kontraktif dan hal ini kurang menarik bagi investor,” jelasnya.
Sukarno menyatakan di dalam sektor manufaktur ada beberapa emiten yang sebaiknya dihindari terlebih dahulu yakni PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), PT Indocement Tunggal Prakarasa Tbk (INTP), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), PT Astra International Tbk (ASII), PT Sinar Mas Agro Resources & Technology Tbk (SMAR), dan PT Indo-Rama Synthetics Tbk (INDR). Sebab pada perdagangan hari ini, emiten-emiten tersebut jadi penekan indeks manufaktur.
Sukarno menjelaskan untuk SMGR dan INTP masuk di sektor basic yang outlook-nya masih jelek ditambah dengan sentimen pasokan semen yang berlebihan. Adapun secara valuasi sahamnya dalam trend turun.
Baca Juga: Kondisi industri manufaktur Indonesia di kuartal III 2019 terus merosot
Kemudian saham CPIN dan JPFA yang keduanya sama-sama mendapat katalis negatif dari isu masuknya ayam dari brazil. Walaupun begitu, masih ada potensi naik secara pergerakan teknikal.
Lalu saham ASII yang valuasi sedang turun sehingga investor bisa wait and see. Menurut Sukarno di tengah kontraksi ekonomi, saat ini belum masuk waktu yang tepat untuk membeli.
Adapun saham SMAR dan INDR menurut Sukarno secara teknikal masih dalam tren menurun dan kurang menarik valuasi sahamnya.
Di luar dari saham yang mesti dihindari, investor bisa mencermati saham PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) sebab sahamnya dalam tren naik dan akan kena angina segar di 2020 dari peningkatan konsumsi sawit atau program B30 yang sebelumnya B20.
Kemudian PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) karena secara teknikal ada peluang meningkat dan akan menjadi pilihan untuk dikoleksi dengan isu resesi Amerika Serikat di tahun depan.
Baca Juga: Meski kredit melambat, namun bank besar masih catat kinerja mumpuni
Adapun investor disarankan beli saham TBLA dan UNVR di harga sekarang atau buy on weakness saham UNVR di target harga Rp 50.050 dan saham TBLA di Rp 1.130.
Di sektor farmasi Sukarno merekomendasikan saham PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) karena dinilai layak beli jika dibandingkan saham emiten farmasi lainnya.
Namun, Sukarno mengingatkan pergerakan saham KLBF secara minor cenderung sideways sehingga ada baiknya investor sabar menunggu sebab kinerjanya masih berpotensi tumbuh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News