Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Setelah hampir dua tahun terpuruk, saham emiten berbasis komoditas belum juga mendapatkan tenaga baru. Alih-alih rebound, saham ini malah mendominasi daftar saham kelompok LQ-45 dengan performa terburuk, terhitung sejak awal tahun hingga kemarin (14/10) atau year-to-date (ytd).
Dari subsektor komoditas batubara, ada empat saham kelompok LQ45 yang berkinerja paling melempem, yaitu PT Harum Energy Tbk (HRUM), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dan PT United Tractors Tbk (UNTR).
Sementara dari subsektor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO), ada dua saham dengan kinerja terburuk, yakni PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP).
Daftar saham LQ45 berbasis komoditas yang berkinerja buruk kian bertambah jika memasukkan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Saham produsen mineral terintegrasi ini sudah turun 9,17% (ytd). Di luar kelompok LQ-45, performa saham CPO masih jauh dari harapan. Harga saham PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), misalnya, sudah menyusut 11,22% (ytd).
Michael Kusuma, Kepala Hubungan Investor SGRO, mengatakan, sejak awal tahun sektor komoditas khususnya CPO, memang banyak diterpa sentimen negatif, seperti melimpahnya persediaan CPO di salah satu negara produsen terbesar dunia, Malaysia. Terus anjloknya harga jual kedelai juga turut memukul harga CPO. Kondisi itu banyak mendorong peralihan permintaan dari CPO ke minyak kedelai.
Namun, Michael bilang, sentimen ini sudah tecermin (price-in) pada harga CPO saat ini. "Bisa dikatakan juga sekarang sudah mencapai bottom (level terendah), sehingga kami optimistis harga CPO justru akan terus menguat hingga akhir tahun nanti," kata Michael, Selasa (14/10).
Batubara suram
Persoalannya, tak semua emiten berbasis komoditas mengembuskan harapan seperti itu. Prospek saham berbasis batubara justru diperkirakan semakin berat dalam satu tahun ke depan. Shahim Zubair, Associate Director Fitch Ratings dalam riset 1 Oktober 2014 memprediksi, pasar batubara di Asia akan tetap kelebihan pasokan (oversupply) dalam 12 bulan ke depan. Hal itu didorong oleh berbagai sentimen negatif di importir terbesar dunia, yakni Tiongkok.
Shahim memprediksi impor batubara China tetap menurun lantaran kegiatan produksi di sana melambat. Ini diperparah keputusan pemerintah Tiongkok yang gencar merilis kebijakan membatasi impor batubara. Paling gres, Negeri Tembok Raksasa itu menerapkan tarif impor batubara.
Grant Sporre dan Michael Hsueh, analis Deutsche Bank dalam riset 10 Oktober 2014 menulis prediksi yang lebih pesimistis. Menurut mereka, harga batubara termal bakal turun ke level US$ 60 per ton dalam tiga hingga enam bulan ke depan.
Selain faktor China, kian melemahnya mata uang negara produsen batubara seperti rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), turut memberikan tekanan tambahan pada sektor ini. Joseph Pangaribuan, analis Samuel Sekuritas dalam riset 9 Oktober 2014 menulis bahwa kebijakan pengetatan produksi batubara yang dicanangkan pemerintah Indonesia juga belum efektif.
Pada Januari-September 2013, volume produksi batubara Indonesia mencapai 311 juta ton, naik 4% dibandingkan periode yang sama 2013 yakni 299 juta ton. Kondisi wajar terjadi lantaran produsen batubara di Indonesia malah terus memacu volume produksi demi mengkompensasi harga jual yang rendah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News