Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih terus mengalami tekanan. Pelemahan rupiah diprediksi bisa menembus level Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Selasa (3/12), di pasar spot rupiah ditutup di level Rp 15.946 per dolar AS. Ini membuat rupiah melemah 0,25% dibandingkan dengan penutupan Senin (2/12) di level Rp 15.906 per dolar AS. Alhasil, rupiah pun menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia.
Analils Doo Financial Futures, Lukman Leong menilai dengan pelemahan rupiah belakangan ini maka peluang rupiah menembus level Rp 16.000 terbuka. "Akhir tahun rupiah diperkirakan dikisaran Rp 15.800 - Rp 16.100 per dolar AS," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (3/12).
Baca Juga: Rupiah Ditutup Melemah ke Rp 15.946 Per Dolar AS Hari Ini (3/12), Terlemah di Asia
Tertekannya rupiah, salah satunya disebabkan kekhawatiran akan ancaman Trump mengenakan tarif 100% untuk negara BRICS. Pengenaan tarif itu diberlakukan apabila negara BRICS membuat mata uang baru sebagai alternatif penggunaan dolar AS.
Lukman berpendapat, sebetulnya BRICS tidak ada rencana untuk membuat mata uang baru. Menurutnya, gejolak pada mata uang rupiah, termasuk mata uang Asia, akibat kekhawatiran investor apabila Trump akan membenarkan kebijakan tarifnya dengan segala macam alasan yang tidak masuk akal ke depannya.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo senada bahwa rupiah berpotensi menembus level Rp 16.000 per dolar AS. Selain sentimen BRICS, faktor lainnya seperti ketidakpastian ekonomi global, ketegangan geopolitik, dan menguatnya dolar AS turut menambah tekanan terhadap rupiah.
Menurut Sutopo, kesehatan ekonomi global secara keseluruhan, termasuk tingkat pertumbuhan dan inflasi, akan memainkan peran penting. Perlambatan aktivitas ekonomi global dapat menyebabkan peningkatan permintaan aset safe haven seperti Dolar AS, yang akan menekan rupiah.
"Kekuatan Dolar AS didorong oleh faktor-faktor seperti data ekonomi AS dan kebijakan Federal Reserve akan memengaruhi rupiah," sebutnya.
Lalu, konflik geopolitik yang sedang berlangsung, khususnya yang melibatkan negara-negara BRICS, dapat menciptakan ketidakpastian di pasar. Hal ini dapat menyebabkan arus keluar modal dari pasar berkembang, termasuk Indonesia yang juga akan melemahkan rupiah.
Dari dalam negeri, kinerja ekonomi domestik Indonesia, termasuk pertumbuhan PDB, inflasi, dan neraca perdagangan juga akan memengaruhi rupiah. "Akhir tahun rupiah dikisaran Rp 16.000," sebutnya.
Baca Juga: Ketidakpastian Meningkat, Begini Strategi Investasi di 2025
Gejolak rupiah juga berpotensi berlanjut hingga kuartal I 2025. Lukman menilai, hal itu bisa terjadi dengan asumsi intervensi dari Bank Indonesia (BI) tidak lebih agresif. "Jika ditambah dengan berjalannya rencana Trump mengenai tarif, rupiah di kuartal I 2025 dikisaran Rp 16.500 - Rp 16.800 per dolar AS.
Untuk jangka pendek, Lukman berpendapat faktor yang dapat menahan rupiah menembus level Rp 16.000 dari aksi intervensi BI dan bank sentral Indonesia itu tetap mempertahankan suku bunga di level saat ini.
Karenanya, Lukman memperkirakan BI belum akan memangkas suku bunganya pada Desember nanti untuk menjaga gejolak rupiah. "Ekonomi akan kurang baik apabila suku bunga BI ditahan, tetapi kalau rupiah bergejolak bisa lebih parah," tutupnya.
Selanjutnya: Jelang Pidato Pejabat The Fed, Rupiah Ditutup Melemah di Perdagangan Selasa (3/12)
Menarik Dibaca: Deretan iPhone yang Tidak Didukung WhatsApp Mulai Tahun 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News