Reporter: Noor Muhammad Falih | Editor: Yudho Winarto
JAKARta. Investor asing kembali melirik pasar Surat Utang Negara (SUN) domestik. Penguatan rupiah menjadi sentimen positif yang mengembalikan minat asing mengoleksi obligasi.
Kondisi ini tecermin dari jumlah dana asing di pasar SUN yang terus bertambah. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, per 15 April lalu, dana asing di SUN mencapai Rp 506,75 triliun. Jumlah tersebut mendekati rekor tertinggi sepanjang sejarah pada 2 Maret lalu, yaitu senilai Rp 509,32 triliun.
Analis obligasi Sucorinvest Central Gani, Ariawan menilai, kestabilan rupiah menjadi faktor pendorong investor asing kembali mengoleksi obligasi negara. Apalagi, rupiah terlihat mulai menguat di bawah level Rp 13.000 per dollar AS sejak 6 April lalu. Sekadar gambaran, di pasar spot pada Jumat (17/4) lalu, rupiah ditutup menguat ke posisi Rp 12.850 per dollar AS.
Tercatat, ada tambahan dana masuk senilai Rp 2,12 triliun sejak 6 April lalu. "Penguatan rupiah mengurangi kekhawatiran investor asing terhadap risiko nilai tukar (currency risk)," katanya.
Investor asing sebenarnya sangat tertarik dengan tingkat imbal hasil SUN domestik yang relatif tinggi dibandingkan negara lain. Tapi, investor masih mengejar capital gain (selisih harga beli dan jual) sehingga potensi penurunan yield tetap ada. “Hanya beberapa pekan lalu mereka (asing) keluar dulu karena rupiah belum stabil,” ujar Ariawan.
Meski investor asing sudah akumulasi beli SUN, menurut Global Markets Financial Analyst Manager Bank Internasional Indonesia, Anup Kumar, nilai beli bersih tersebut belum dapat menunjukkan minat investor asing setinggi awal tahun ini. Ia membandingkan, sepanjang 2014, rata-rata nett buy asing Rp 11,5 triliun per bulan. Realisasi pada Januari tahun ini senilai Rp 39,5 triliun. “Sedangkan pada April ini masih 2,67 triliun, jauh di di bawah rata-rata tahun lalu,” papar Kumar.
Nominal nilai beli bersih SUN oleh investor asing masih minim lantaran faktor global. Ia menduga, investor asing tengah menyasar pasar surat utang di Eropa. Maklum, yield obligasi negara Spanyol tenor 10 tahun, misalnya, sepanjang tahun ini sudah turun 283 basis poin menjadi 1,3%. Lalu, yield obligasi bertenor sama di Portugal turun 426 basis poin menjadi 1,75% per 14 April lalu.
“Artinya, harga obligasi negara itu mulai membaik, dan jadi incaran investor asing. Meski yield SUN kita masih menarik, dana masuk ke Indonesia tertahan,” ujarnya.
Yield bisa turun
Menurut Kumar, setidaknya masih ada beberapa risiko di pasar SUN domestik pada saat ini. Misalnya, apabila penguatan rupiah masih lebih kecil ketimbang kenaikan harga minyak mentah dunia, hal ini dapat mendorong pemerintah untuk menaikkan lagi harga bahan bakar minyak (BBM). Akibatnya, laju inflasi bisa lebih tinggi.
Selain itu, asing tengah menunggu implementasi rencana pembangunan infrastruktur yang dibesut oleh pemerintah. Kondisi neraca perdagangan Indonesia dan kemungkinan bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga acuan juga masih menjadi risiko yang sulit diprediksi investor.
Kumar menyarankan, pada kuartal II ini, jika investor cukup optimistis risiko itu tidak akan berdampak negatif pada pasar SUN, mereka bisa mengatur portofolio dengan durasi di atas tujuh tahun. "Tapi, jika investor enggan mengambil risiko, bisa mengoleksi SUN saat yield tenor 10 tahun kembali ke kisaran 7,6%, dengan durasi portofolio tujuh tahun," sarannya. Sekadar informasi, yield SUN tenor 10 tahun pada Jumat (17/4) lalu sebesar 7,52%.
Adapun menurut Ariawan, investor saat ini bisa masuk ke pasar SUN dengan strategi hold selama empat bulan hingga enam bulan. Pasalnya, dia menduga, harga SUN masih akan naik dengan yield tenor 10 tahun bisa turun ke level 7,0%-7,2% di akhir tahun ini. “Menjelang keputusan The Fed justru akan positif bagi pasar karena investor setidaknya sudah mendapat kepastian,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News