Reporter: Noor Muhammad Falih | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Minat investor berinvestasi surat utang negara (SUN) di kuartal kedua tahun ini diperkirakan masih cukup bagus. Pasalnya, situasi pasar obligasi domestik tidak akan berbeda jauh dengan kuartal pertama lalu. Indikasinya, penerbitan SUN baru masih lebih besar ketimbang nominal yang jatuh tempo.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat, pada kuartal II-2015, nominal SUN yang jatuh tempo mencapai Rp 39,07 triliun dan US$ 1 miliar. Nilai tersebut terdiri dari tujuh seri Surat Perbendaharaan Negara (SPN), satu private placement Dana Haji Kementerian Agama, dan global bond dollar Amerika Serikat (AS).
Adapun, rencana penerbitan SUN pada kuartal II ini dari lelang konvensional dan sukuk sebesar Rp 93,5 triliun. Artinya, suplai akan mencapai 1,8 kali lebih besar ketimbang nominal jatuh tempo.
Analis Sucorinvest Central Gani Ariawan mengatakan, dari rencana penerbitan itu, terlihat pemerintah mengantisipasi kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (Fed fund rate) yang diprediksi pada semester II nanti. “Jika penerbitan baru tidak dikebut pada semester I, minat investor dikhawatirkan sudah turun akibat kenaikan Fed fund rate,” paparnya, Jumat (31/3).
Indikasi itu menguat, setelah pemerintah memutuskan penerbitan Samurai Bond dan sukuk global pada semester I.
Ariawan menduga, minat investor di pasar SUN domestik masih akan sebagus kuartal I. Ia mencatat, sepanjang kuartal I, rata-rata permintaan investor pada lelang konvensional sebesar Rp 30 triliun, dan lelang sukuk senilai Rp 11 triliun. "Hal ini masih bisa terulang di kuartal II jika kondisi inflasi dan rupiah cukup terkendali," ujarnya.
Namun, Analis Millenium Danatama Indonesia Desmon Silitonga mengingatkan, kondisi inflasi dan rupiah di kuartal II masih cukup berisiko. Pasalnya, inflasi bergantung harga minyak mentah dunia. "Pemerintah baru menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Ini masih bisa terulang jika harga minyak kembali naik,” ujar Desmon.
Sedangkan, kinerja rupiah belum ada tanda-tanda perbaikan signifikan. Ini akan mempengaruhi minat asing di SUN yang porsi kepemilikannya 38,47% per 27 Maret 20.
Memperpendek durasi
Meski demikian, hal itu tidak akan mengerek tajam yield SUN. Pemerintah mempunyai skenario mencegah kenaikan tajam yield. “Bank Indonesia bisa masuk ke SUN, atau pemerintah menginstruksikan BUMN dan BPJS membeli SUN di pasar sekunder sehingga kenaikan yield tertahan,” ujarnya.
Prediksi Desmon, pada kuartal II, yield SUN tenor 10 tahun, FR0070 paling tinggi di level 7,7%, dan masih bisa turun ke 6,9% apabila inflasi dan rupiah membaik.
Sementara, Ariawan menebak, yield tersebut masih bergerak di kisaran 7,3%. Ini dengan asumsi permintaan investor, inflasi dan kinerja rupiah stabil seperti di kuartal I. “Memang masih ada potensi volatilitas, sehingga tak akan jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya,” ujarnya. Indonesia Bond Pricing Agency mencatat, Selasa (31/3), yield seri FR0070 bertengger di level 7,42%
Menghadapi potensi volatilitas, Ariawan menyarankan investor obligasi memasang strategi trading jangka pendek. Investor agresif bisa memilih SUN tenor 15 tahun - 20 tahun. Sedangkan investor yang konservatif bisa memilih SUN tenor 5 tahun hingga 10 tahun. “Sebaiknya investor mengincar capital gain jangka pendek,” saran Ariawan.
Investor bisa mengurangi durasi portofolio menjadi di bawah lima tahun. Strategi memangkas durasi portofolio bisa mengurangi risiko volatilitas pasar. "Koleksi SUN tenor pendek yang likuiditasnya relatif kecil, sehingga pergerakan harganya tidak agresif," imbuh Desmon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News