Reporter: Ahmad Febrian, Maggie Quesada Sukiwan, Namira Daufina, Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Entah sampai kapan nilai tukar rupiah menunduk. Mengacu data Bloomberg, Senin (7/9) di pasar spot rupiah sentuh level Rp 14.238 per dollar AS atau melemah 0,47% dari sebelumnya Rp 14.172 per dollar AS. Sepanjang tahun ini, mata uang Garuda terdepresiasi sekitar 14,4%.
Performa ini menerbitkan kekhawatiran banyak pihak. Apalagi, Juli lalu, Bloomberg menulis, The Fed menolak permintaan Indonesia atas currency swap line. Ini adalah perjanjian dua pihak yang melibatkan pertukaran dana dalam mata uang masing-masing beserta bunga. Padahal, currency swap jadi bantalan yang bisa menyangga rupiah.
Indonesia tak sendiri. The Fed beberapa kali juga menolak permohonan currency swap sejumlah negara selama krisis keuangan global. Antara lain Meksiko dan Brasil.
Tresuri bank Eropa di Singapura mengatakan, sebenarnya dana asing yang keluar fenomena biasa. Masalahnya, dalam kondisi sekarang, keluarnya dana asing juga diikuti korporasi dan perorangan. "Permintaan dollar US$ 500 juta - US$ 700 juta per hari," prediksi tresuri tersebut kepada KONTAN.
Menurut Ekonom Bank Permata Josua Pardede, cadangan devisa kita cukup untuk membiayai impor dan utang luar negeri selama enam bulan. BI mencatat per Juli 2015, cadangan devisa US$ 107,55 juta, menyusut dari bulan sebelumnya US$ 108,03 juta.
Pemerintah juga menyiapkan bond stabilization fund (BSF), program buyback obligasi demi menahan kejatuhan rupiah. Ada juga Bilateral Swap Arrangement (BSA) melalui Chiang Mai Initiative Multilateralization dengan China, Jepang serta Korea Selatan, BI punya komitmen dana siaga sebesar
US$ 47 miliar. Kemudian, dana siaga dari deferred drawdown option (DDO) dengan sejumlah negara. Masalahnya, BSA dan DDO sulit terealisasi kala perlambatan ekonomi global, terutama China.
Sekalipun bisa terwujud, BSA tak bisa berfungsi cepat, sebab perlu negosiasi ulang. "Melihat kondisi China sekarang, mereka sulit membantu,” ujar David Sumual, Ekonom BCA. Kata dia, rupiah saat ini sudah overshooting, seharusnya di Rp 13.890.
Pengamat Pasar Uang Farial Anwar bilang, Kementerian Ekonomi, Kementerian Perdagangan, Otoritas Jasa Keuangan dan BI harus berkoordinasi cepat untuk antisipasi penarikan hot money, menyusul keputusan The Fed menaikkan bunga September ini. Kondisi ini diperparah terkikisnya kepercayaan pasar ke pemerintan akibat kinerjanya yang memble.
Berbagai obat penjinak rupiah dinilai kurang cespleng. Wajib rupiah misal, cuma memperpanjang rantai pembelian valas. Adapun penurunan transaksi valas dengan underlying asset menjadi US$ 25.000 menyulitkan usaha kecil menengah.
"Pemerintah harus menghilangkan ekonomi biaya tinggi, inefisiensi anggaran dan pemberdayaan ekonomi domestik. Jika benahi sektor moneter doang, salah obat," ujar tresuri Singapura tadi. Ia memprediksi, di akhir tahun nanti, rupiah bisa ke Rp 14.500.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News