Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyaknya tekanan terhadap perkembangan ekonomi di Amerika Serikat (AS) menjatuhkan indeks dolar ke level terendah dalam dua tahun terakhir. Mengutip Bloomberg, pada perdagangan Kamis (6/8), indeks yang mencerminkan nilai tukar dolar terhadap mata uang utama dunia ini berada di 92,53.
Mengutip Bloomberg, pada perdagangan Kamis (6/8) kurs rupiah tercatat melemah 0,24% ke Rp 14.585 per dolar AS. Sementara itu, pada kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau Jisdor, rupiah ditutup menguat 36 poin atau 0,25% ke level Rp 14.587 per dolar AS.
Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf mengatakan bukan hanya sentimen resesi tapi ada segudang faktor yang membuat indeks dolar tertekan. Bahkan, potensi tekanan diyakini bisa berlanjut hingga akhir 2020. "Faktor utama karena meningkatnya kasus Covid-19 di AS," kata Alwi kepada Kontan.co.id, Kamis (6/8).
Untuk menekan dampak ekonomi dari penyebaran Covid-19 yang melebar di Negeri Paman Sam, pemerintah sepakat untuk menggelontorkan berbagai stimulus. Tidak main-main, jumlah stimulus yang digelontorkan hampir mencapai US$ 5 triliun. Alhasil dolar AS di pasar keuangan global pun berlimpah dan menekan nilai greenback ke level rendah saat ini.
Baca Juga: Tekanan indeks dolar berlanjut, rupiah berpotensi menguat
Sebagai negara yang sudah mendeklarasikan resesi, akhirnya persepsi pasar terhadap ekonomi AS turun. Bahkan, euro berhasil jadi mata uang yang diuntungkan atas kondisi tersebut. Ekonomi Benua Biru diyakini punya peluang bangkit lebih cepat ketimbang AS.
Di samping itu, muncul kabar beredar bahwa Presiden AS Donald Trump meminta penundaan pelaksanaan pemilu AS yang semula dijadwalkan November 2020. Kabar tersebut berhasil menciptakan ketidakpastian dan membuat indeks dolar semakin tertekan. Ditambah lagi, beberapa kawasan AS yang berencana untuk melonggarkan lockdown, kemungkinan mengurungkan niatnya kembali.
"Dampaknya untuk rupiah sendiri mampu memberikan ruang penguatan hingga ke level Rp 14.000 per dolar AS hingga akhir tahun ini," kata Alwi.
Apalagi, meskipun ekonomi Indonesia tercatat kontraksi 5,32% di kuartal II-2020, Alwi menilai level tersebut priced in dengan prediksi pasar. Bahkan, jika dibandingkan negeri jiran seperti Malaysia yang terkontraksi lebih dari 8% dan Singapura 12%, posisi Indonesia dinilai masih lebih baik.
Baca Juga: Rupiah bisa melemah tipis di akhir pekan jika data tenaga kerja AS membaik
Peluang rupiah semakin kuat, apabila uji klinis vaksin yang bakal dilakukan Universitas Padjadjaran (Unpad) bekerjasama dengan Bio Farma bisa menuai hasil positif. Alwi memastikan, mata uang Garuda bakal auto menguat dan dana asing bakal membanjiri pasar Indonesia.
Namun, Alwi menilai ruang koreksi rupiah juga tetap ada jika uji klinis vaksin tidak berbuah manis. Ditambah lagi, jika tiba-tiba dolar AS kembali menguat pasca paket stimulus mega triliun disepakati. Prediksinya level resistance bisa menuju Rp 15.580 per dolar AS.
"Apalagi jika PSBB kembali diperpanjang, ekonomi kuartal III-2020 berpotensi kembali terkontraksi kembali. Namun kami optimistis akhir tahun rupiah mampu ditutup di kisaran Rp 14.100 per dolar AS," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News