kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Risiko obligasi Indonesia naik seiring kekhawatiran akan kebijakan burden sharing


Kamis, 01 Oktober 2020 / 19:19 WIB
Risiko obligasi Indonesia naik seiring kekhawatiran akan kebijakan burden sharing
ILUSTRASI. Pasar obligasi Indonesia tengah diselimuti tren negatif, yakni risiko yang meningkat.


Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia tengah diselimuti tren negatif, yakni risiko yang meningkat. Hal ini tercermin dari hedge fund seperti Pinebridge & Aberdeen baru saja menurunkan penilaian mereka ke pasar obligasi Indonesia. 

Keputusan kedua hedge fund ini disebut berdasarkan kekhawatiran efek burden sharing, serta sikap Bank Indonesia (BI) ke depan terkait aksi pembelian surat utang besar-besaran di tengah ancaman resesi. 

Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi tak menampik bahwa pasar obligasi Indonesia saat ini memang dalam kondisi yang kurang menarik. Khususnya di mata investor asing terkait adanya skema burden sharing BI dan pemerintah

“Dari segi risiko secara mid term dikhawatirkan akan terus meningkat karena adanya program burden sharing BI dengan cara quantitative easing hingga 2022. Ini akan meningkatkan risiko seperti pelemahan rupiah, meningkatnya inflasi di saat kemampuan belanja masyarakat lemah, hingga hilangnya minat investor asing karena hilangnya independensi BI,” jelas Reza kepada Kontan.co.id, Kamis (1/10).

Baca Juga: BNI pasang target awal Rp 400 miliar untuk penjualan ORI018

Jika tidak ada jalan keluar yang tepat, Reza menilai dampaknya bisa akan semakin parah. Menurutnya, risiko ke depan akan lebih menantang jika inflasi naik sementara keadaan belum banyak berubah. Pasalnya, kepercayaan investor asing akan turun, padahal pemerintah membutuhkan pembiayaan dari utang sekitar 80% melalui penerbitan surat utang. 

Reza menambahkan, jika BI terus melakukan pembelian surat utang serta wacana UU BI belum kunjung jelas, bisa berdampak pada berkurangnya independensi BI sebagai bank sentral. Hal tersebut dapat berujung pada penurunan rating Surat Utang Negara (SUN) dari lembaga pemeringkat. Tentu hal ini akan membuat pasar obligasi Indonesia semakin tidak menarik.

Baca Juga: BI sudah borong SBN Rp 183,48 triliun dalam skema burden sharing per 24 September

“Oleh karena itu, prospek pasar obligasi Indonesia ke depan bergantung pada BI dalam mencari strategi keluar dari permasalahan ini. Jika berlanjut, value of money di pasar obligasi bisa turun karena inflasi yang meningkat di tengah kemerosotan konsumsi domestik. Dampaknya bisa terjadi resesi lanjutan,” tambah Reza.

Dengan asumsi pasar obligasi Indonesia belum mampu keluar dari tekanan dan inflasi yang terjadi, Reza menyebut yield SUN 10 tahun akan tidak menarik untuk dikoleksi. Dus ini berpeluang membuat policy rate dan yield obligasi Indonesia akan naik dan saling mendekati. Reza memperkirakan yield SUN 10 tahun pada akhir tahun ini akan berada di level 6,5% sementara pada tahun depan akan ada di level 7,5%.

Baca Juga: Respons pemerintah terkait prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari Bank Dunia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×