Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Moody’s Investors Service merilis laporan pada Rabu (11/9) yang menjelaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kawasan Asia Pasifik kecuali China, merupakan sumber Risiko kontijensi (contingent risk) atau ketidakpastian mengenai perolehan laba atau rugi pada neraca pemerintah. Risiko tersebut timbul dari liabilitas yang ditanggung oleh BUMN, termasuk dalam hal ini utang.
Risiko kontijensi muncul ketika pemerintah menjamin utang BUMN atau dari operasi kuasi fiskal dimana pemerintah memberi subsidi anggaran atau jaminan pemerintah.
Dalam risetnya, beberapa BUMN Indonesia yang dicermati Moody’s adalah PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), dan PT Indofarma Tbk (INAF). Menurut Moody’s enam emiten pelat merah ini mencatatkan biaya kristalisasi kewajiban yang walaupun tidak besar tapi tidak bisa diabaikan.
Indikator yang dilihat Moody’s adalah seberapa sehat keuangan perusahaan tersebut. Salah satu tolak ukurnya adalah Debt to Equity Ratio (DER). Sederhananya, rasio utang terhadap ekuitas adalah semakin tinggi DER menunjukkan komposisi utang yang semakin besar dibanding dengan total modal perusahaan. Hal ini bisa mencerminkan apakah sumber modal perusahaan sangat tergantung pada pihak luar.
Baca Juga: Tren suku bunga rendah, Moody's pangkas outlook bank investasi global
Moody’s menyebutkan WSKT memiliki DER tertinggi, yakni 359,1% kemudian diikuti GIAA 211,2% lalu ADHI 137,5%. Adapun rasio utang terhadap ekuitas KAEF sebesar 126,2% diikuti KRAS 114,2% dan yang terakhir INAF 112,4%.
Direktur Utama Avere Investama Teguh Hidayat menjelaskan riset mengenai risiko kontijensi ini memperlihatkan adanya risiko tapi untuk spektrum waktu yang panjang.
“Moody’s memberikan semacam peringatan akan sesuatu yang belum terjadi, jadi baru ada risiko saja. Bukan berarti investor harus meninggalkan sahamnya, hanya saja risiko investasinya meningkat,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (13/9).
Menurut Teguh, risiko kontijensi itu juga harus dilihat sejauh mana pemerintah dapat mengelola risiko tersebut. Namun, hingga saat ini laporan keuangan BUMN (kecuali KRAS dan GIAA) masih bagus-bagus saja.
Di antara daftar emiten yang diperhatikan Moody’s, Teguh fokus mencermati emiten pelat merah di sektor konstruksi dan kesehatan.
Teguh melihat utang INAF dan KAEF tidak terlalu besar tapi yang menjadi katalis negatifnya adalah isu defisit BPJS kesehatan. Menurut dia, masalah ini cukup serius. Nilai klaim yang harus dibayar mencapai Rp 27,9 triliun sedangkan pendapatan dari uang iuran tidak seberapa.
Pemerintah mencoba untuk menaikkan iuran BPJS, tapi bukan berarti hal ini bisa jadi solusi. Sebab masalahnya bukan seberapa mahal iurannya, tapi soal kepatuhan membayarnya. Jadi menurut Teguh bisa saja masalah ini bergulir hingga waktu yang cukup panjang. Pemerintah masih harus menemukan solusi yang terbaik untuk sektor kesehatan.
Tentunya, dalam beberapa waktu ke depan perusahaan farmasi akan terbebani. Sebut saja KAEF saat ini saja sudah harus menanggung tunggakan BPJS sebesar Rp 400 miliar atau 5% dari pendapatannya.
Teguh melihat masalah defisit BPJS ini mungkin hanya satu masalah dari defisit-defisit lain yang tidak kelihatan, termasuk pembangunan infrastruktur. Hal ini bisa tercermin dari beban utang emiten pelat merah seperti WSKT yang saat ini rasio utangnya cukup besar yakni di 359,1%.
Menurut Teguh pembangunan infrastruktur di Indonesia selama lima tahun belakangan sangat pesat seakan-akan Indonesia punya uang yang tidak terbatas.
Namun ke depannya Teguh melihat adanya potensi pembangunan mungkin tidak sekencang sebelumnya karena prioritas pemerintah pada periode ini bertambah yakni membangun Sumber Daya Manusia.
Melihat dari masalah ini, Teguh menyarankan kepada investor untuk tetap fokus melihat laporan keuangan dan fundamental emiten.
Baca Juga: Moody's: Beberapa Sentimen Negatif Bakal Menekan Kinerja Emiten Batubara
Teguh lebih mencermati saham konstruksi seperti ADHI karena dalam beberapa waktu belakangan sudah dalam tren turun dan valuasinya sudah murah. Adapun fundamental perusahaannya juga bagus, tercatat labanya tumbuh dan nilai kontrak juga terus naik.
Analis Oso Sekuritas Sukarno Alatas menambahkan walaupun ada masalah utang yang menumpuk, pendanaan emiten konstruksi saat ini tidak begitu sulit karena ada sekuritisasi aset yang menjadi pilihan.
“Buktinya permintaan masih ada karena kinerja masih menunjukkan positif,” jelasnya.
Menurut Sukarno saat ini masih ada emiten konstruksi yang masih layak dikoleksi karena kinerjanya juga menunjukkan pertumbuhan laba. Adapun prospek fundamental masih ada peluang perbaikan dengan memanfaatkan program pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Terkait dengan prospek sahamnya, saat ini Sukarno menyarankan investor mencermati saham konstruksi. Sebab dalam jangka menengah saham konstruksi mungkin akan bergerak kondolidasi dan biasanya menjelang akhir tahun akan ada aktivitas window dressing. Artinya pada aktivitas window dressing pergerakan harga saham akan menunjukkan pertumbuhan sampai kuartal I-2020.
Baca Juga: Moody's Pangkas Outlook ISAT Jadi Negatif
Teguh merekomendasikan saham ADHI yang saat ini valuasinya sudah rendah. Teguh bilang Saham ADHI sempat berada di level 2.000 per saham pada 2018, kemudian memasuki 2019 valuasinya mulai turun hingga saat ini berada di level 1.390 per saham.
Sementara Sukarno menyarankan strategi trading buy on weakness untuk saham ADHI sebab harganya sudah overbought dan untuk jangka pendek taking profit dulu. Untuk saham ADHI valuasi masih di bawah rata-rata atau tergolong murah jadi bisa dibeli di harganya saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News