Reporter: Ruisa Khoiriyah, Christine Novita Nababan | Editor: Ruisa Khoiriyah
JAKARTA. Mendengar nama reksadana penyertaan terbatas (RDPT), kening Anda mungkin sedikit mengernyit, karena merasa kurang akrab. Wajar saja, ini karena RDPT termasuk reksadana tertutup.
Ketertutupan produk ini dicirikan oleh pengaturan investasinya. Investor RDPT biasanya hanya bisa menyetor modal dan menarik investasinya di waktu tertentu.
Para MI juga tidak sembarangan menawarkan RDPT ini. Biasanya yang disasar adalah investor yang sudah advanced pemahaman investasinya dan bermodal besar. Investor RDPT diwajibkan menyetor dana minimal Rp 5 miliar atau US$ 500.000.
Menilik karakternya, RDPT sedikit mirip dengan kontrak pengelolaan dana (KPD). Namun, minimal investasi KPD lebih besar yaitu Rp 10 miliar. “RDPT itu seperti produk “antara” di bawah KPD,” ujar Agus B. Yanuar, Presiden Direktur Samuel Sekuritas kepada KONTAN, pekan lalu.
Aset dasar RDPT biasanya proyek sektor riil, meski saat ini ada juga RDPT yang menempatkan dana kelolaannya di aset saham maupun obligasi. Nah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hendak memperjelas pengaturan RDPT yang beraset dasar proyek sektor riil dan efek pasar modal.
Rencana itu memicu semangat beberapa MI untuk merancang produk RDPT baru. Namun, sayang, regulasi resminya belum juga dirilis hingga kini. Meski pada Desember 2012 lalu, drafnya sempat keluar namun sifatnya baru draf sementara.
BNI Asset Management termasuk yang tengah menunggu finalisasi aturan baru itu. Anak usaha Bank BNI ini mengaku sudah berancang-ancang merilis RDPT baru, baik yang berbasis proyek maupun efek. Namun, karena aturan baru masih simpang siur, rencana itu terkatung-katung.
Idhamsyah Runizam, Direktur Utama BNI Asset Management, mengaku, sejatinya banyak investor yang meminati untuk memutar duit di RDPT. Tapi, apa boleh dikata jika aturannya masih tanda tanya. Saat ini, nilai dana kelolaan RDPT BNI Asset Management mencapai Rp 2,4 triliun.
Yah, meski belum keluar regulasi resmi, para MI terlihat bergairah dengan bakal beleid anyar itu. Pasalnya, aturan baru itu kelak dinilai memberikan banyak keleluasaan bagi MI untuk memutar dana di efek-efek demi pencapaian target return.
Mengutip isi draf sementara RDPT berbasis efek, kelak MI diperbolehkan menempatkan dana kelolaan RDPT di efek di bursa luar negeri hingga 30%. Adapun untuk efek di dalam negeri, MI diperbolehkan memutar di satu efek maksimal 20%. Bahkan, MI dipersilakan menaruh duit kelolaan di efek terbitan pihak terafiliasi maksimal 20%.
Cakupan efek-efek yang diizinkan menjadi aset dasar juga cukup luas. Mulai dari saham, obligasi negara, obligasi swasta, instrumen pasar uang seperti sertifikat deposito, hingga surat berharga komersial yang tenornya di bawah tiga tahun dan mendapat peringkat.
Sektor riil susah
Keleluasaan itulah yang menawan para MI untuk berancang-ancang merilis produk RDPT baru, terutama yang berbasis efek. Sampai di sini tertangkap kesan jika para fund manager rada malas meramu RDPT beraset dasar proyek sektor riil. Benarkah begitu?
Para MI tidak mengiyakan. Hanya saja, pelaku industri ini mengakui jika meramu RDPT dengan underlying asset proyek sektor riil terbilang rada ribet. “Menemukan investor yang paham tentang proyek yang menjadi aset dasar RDPT, tidaklah mudah,” kata Idhamsyah Runizam, Direktur Utama BNI Asset Management.
Selain itu, imbuh Agus, menemukan investor yang memiliki horizon investasi sesuai dengan jangka waktu proyek sektor riil yang menjadi underlying asset, terbilang sulit. “Sering tidak match di situ,” jelas dia.
Samuel mengaku lebih tertarik merilis RDPT berbasis efek. Maka itu, Agus memilih menunggu aturan baru resmi dirilis baru kemudian mematangkan rencana pembuatan produk RDPT anyar.
Sunggul Situmorang, Direktur Utama Jisawi,menjelaskan, RDPT sektor riil kerap susah memperoleh izin dari regulator. Mengapa? Ini kembali pada sifat RDPT yang bilateral yakni antara investor dengan MI saja. Meski, sifatnya masih kontrak investasi kolektif alias tidak seprivat kontrak pengelolaan dana (KPD).
Nah, sifatnya yang rada eksklusif ini akhirnya membuat regulator selektif memberikan izin. "Cuma RDPT yang diperkirakan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional saja yang bisa lebih mudah mendapat izin," kata dia.
Pengalaman Jisawi beberapa waktu lalu mencerminkan fenomena ini. Jisawa tempo hari berniat merilis produk RDPT berbasis aset sebuah hotel di Bandung. Apa boleh buat, karena masalah perizinan yang sulit, hingga hari ini, MI ini belum berhasil melansirnya ke publik. Alhasil, hingga saat ini Jisawi belum juga memiliki produk RDPT.
Padahal, ujar Sunggul, tidak sedikit investor tajir yang berminat menaruh dananya di instrumen ini. Para investor ini terpaksa menunggu produk RDPT Jisawi Finas yang sekarang masih dalam kajian. “Kami belum tahu kapan bisa rilis, peminatnya banyak. Tetapi, kami masih akan mencari proyek yang sekiranya dianggap mendukung perekonomian nasional,” katanya.
Selama ini, para fund manager terkesan agak malas merilis produk tersebut dengan underlying asset proyek sektor riil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News