kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.978.000   -2.000   -0,10%
  • USD/IDR 16.496   8,00   0,05%
  • IDX 7.771   -59,51   -0,76%
  • KOMPAS100 1.082   -7,48   -0,69%
  • LQ45 791   -5,92   -0,74%
  • ISSI 264   -1,30   -0,49%
  • IDX30 410   -3,55   -0,86%
  • IDXHIDIV20 476   -4,17   -0,87%
  • IDX80 120   -0,68   -0,57%
  • IDXV30 129   -0,28   -0,22%
  • IDXQ30 132   -1,32   -0,99%

Rayakan HUT ke-48, Begini Tantangan yang Dihadapi Pasar Modal Indonesia


Senin, 11 Agustus 2025 / 15:07 WIB
Rayakan HUT ke-48, Begini Tantangan yang Dihadapi Pasar Modal Indonesia
ILUSTRASI. IHSG Menguat-Suasana di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (15/7/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Selasa (15/07/2025) ditutup menguat 43,32 poin atau 0,61% ke posisi 7.140,47. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/15/07/2025


Reporter: Rashif Usman | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak kembali diaktifkan pada 10 Agustus 1977, denyut pasar modal Indonesia tak pernah berhenti berdetak. Di usia ke-48, peringatannya menjadi panggung untuk mengenang perjalanan, merayakan pencapaian, dan menatap tantangan sekaligus peluang di masa depan.

Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. 

Melansir laporan tahunan BEI tahun 2013, Pemerintah Hindia Belanda melalui Amsterdamse Effectenbeurs (pasar modal Amsterdam) membuka cabang bursa efek di Batavia (Jakarta) dengan nama Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek). Di tingkat Asia, bursa Batavia tersebut merupakan yang tertua keempat setelah Bombay, Hong Kong, dan Tokyo.

Bursa tersebut didirikan untuk memperjualbelikan efek saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan pemerintah (provinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda, serta efek perusahaan Belanda lainnya.

Perkembangan dan pertumbuhan pasar modal saat itu begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota lainnya. Tingginya animo masyarakat akan hal ini pada akhirnya membuka peluang bagi pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan bursa cabang di Surabaya pada 11 Januari 1925 dan di Semarang pada 1 Agustus 1925.

Pertumbuhan pasar modal di Indonesia menghadapi kendala di tahun 1939 seiring dengan memanasnya keadaan suhu politik di Eropa. Hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan  perdagangan efeknya di Batavia dan menutup bursa efek di Surabaya dan di Semarang. 

Namun pada 17 Mei 1940  seluruh kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan  peraturan yang menyatakan bahwa semua efek-efek harus  disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada zaman penjajahan Belanda. 

Setelah terhenti selama 12 tahun, pemerintah Indonesia membuka kembali bursa efek di Jakarta berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 13 tanggal 1 September 1951 yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang No. 15 tahun 1952 tentang bursa. 

Baca Juga: BEI Bakal Buka Kode Domisili Investor September 2025

Pada tahun 1958 perdagangan di bursa mengalami kelesuan bahkan kemunduran. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah Indonesia terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara, yang mencapai puncaknya pada aksi pengambilalihan semua perusahaan Belanda di Indonesia sesuai dengan Undang- Undang Nasionalisasi No. 86 tahun 1958.  

Situasi politik dan awamnya pengetahuan masyarakat tentang pasar modal membuat pertumbuhan bursa efek di Indonesia mengalami kemunduran pada tahun 1958-1976. 

Pada 10 Agustus 1977, pemerintah Indonesia meresmikan kembali beroperasinya pasar modal melalui Keputusan Presiden RI No. 52 tahun 1976. Aktifnya kembali pasar modal ini ditandai dengan perdagangan saham PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama yang ‘go public’ dan  disusul dengan perusahaan-perusahaan lainnya.

Pada tahun 1989, Bursa Efek Surabaya (BES) mulai  beroperasi dan pada tahun 1990 bursa efek yang dijalankan  oleh Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) memasuki proses swastanisasi dan resmi berdiri sebagai Bursa Efek  Jakarta (BEJ) pada 13 Juli 1992. Badan Pelaksana Pasar Modal berubah nama dan fungsi menjadi Badan Pengawas Pasar Modal yang kemudian di tahun 2013 menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).  

Pada tahun 1995, untuk memperkuat infrastrukturnya BEJ menerapkan langkah-langkah strategis seperti penggunaan sistem otomasi perdagangan JATS (Jakarta Automated Trading Systems). Langkah penguatan lain yang dilakukan oleh BEJ adalah mengaplikasikan sistem perdagangan tanpa warkat (scripless trading) pada tahun 2000 dan melaksanakan sistem perdagangan jarak jauh  (remote trading) pada tahun 2002.  

Masih di tahun 1995, melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, pemerintah menetapkan peran BEJ dan BES sebagai bagian dari Self Regulatory Organization (SRO) pasar modal Indonesia. Di tahun yang sama BPI juga melakukan merger dengan BES. Pada tahun 2007, BES menggabungkan diri dengan BEJ dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).

Pencapaian dan Tantangan

Jika ditarik dalam lima tahun terakhir, performa pasar modal Indonesia yang tercermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan tren positif. Hingga penutupan perdagangan Jumat (8/8), IHSG berada di level 7.533,38 atau naik sekitar 25,99% dibandingkan posisi akhir Desember 2020 yang tercatat di 5.979,07.

Kinerja positif ini juga diiringi pertumbuhan jumlah emiten. Per 8 Agustus 2025, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat 957 perusahaan yang telah melantai. Dari sisi kapitalisasi pasar, nilainya kini telah menembus Rp 13,55 triliun, menandai peningkatan signifikan dalam skala dan nilai pasar modal nasional.

Dari sisi partisipasi, jumlah investor pasar modal Indonesia tumbuh pesat sejak 2020. Pada tahun tersebut, tercatat 3,8 juta Single Investor Identification (SID). Setahun kemudian, jumlahnya melonjak 93% atau bertambah 3,6 juta SID menjadi 7,4 juta. Pada 2022, kembali bertambah 38% atau 2,8 juta SID menjadi 10,3 juta. Pertumbuhan berlanjut di 2023 dengan kenaikan 18% atau 1,9 juta SID menjadi 12,1 juta. Di tahun 2024, jumlahnya naik 22,2% atau 2,7 juta SID menjadi 14,8 juta. 

Yang paling menggembirakan, jumlah investor pasar modal Indonesia kembali mencatatkan rekor baru, yakni mencapai 17.016.329 Single Investor Identification (SID) pada Kamis (3/7). Capaian ini menunjukkan pertumbuhan jumlah investor telah melampaui target 2 juta investor baru yang ditetapkan oleh BEI pada tahun 2025. Jumlah investor pasar modal telah meningkat sebanyak 2.144.690 SID (11,42%) dibandingkan posisi akhir tahun 2024 yang tercatat sebesar 14.871.639 SID.

Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai terdapat sejumlah langkah yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pasar modal yang lebih berkualitas di masa mendatang.

Pertama, perlindungan terhadap investor harus tetap menjadi prioritas, dengan penerapan aturan yang transparan, objektif, dan tidak berpihak pada emiten atau kelompok tertentu. Kedua, investor selayaknya memperoleh keuntungan agar termotivasi untuk terus bertransaksi dan berinvestasi di pasar modal.

Ketiga, peningkatan kapitalisasi pasar dan kualitas emiten perlu diupayakan dengan mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk melantai di bursa, alih-alih sekadar mengejar jumlah emiten dari perusahaan berskala kecil.

Budi juga mengkritik perlunya evaluasi terhadap sejumlah aturan seperti suspensi, Unusual Market Activity (UMA), dan Full Call Auction (FCA), termasuk memperjelas kriteria penerapannya. 

"Jangan ada yang tidak jelas kriteria sebuah emiten terkena aturan itu," kata Budi kepada Kontan, Minggu (10/8/2025).

Baca Juga: BEI Beri Lisensi Liquidity Provider Saham kepada Phintraco Sekuritas

Ini juga berlaku untuk ketentuan haircut atau penilaian emiten dalam perhitungan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD), yang menurutnya harus dirumuskan secara jelas, transparan, dan objektif.

Selain itu, Budi juga menyoroti perkembangan sejumlah saham domestik yang belakangan berhasil masuk ke indeks bergengsi seperti Morgan Stanley Capital International dan FTSE Russell. Menurutnya, sentimen ini tentu positif karena dapat menarik minat investor asing untuk berinvestasi pada saham-saham tersebut. 

Namun, ia mengingatkan bahwa bobot saham Indonesia di indeks global terus mengalami penurunan hingga hanya sekitar 1%, yang disebabkan oleh berbagai faktor.

Di hubungi terpisah, Founder sekaligus Chief Marketing Officer & Partner Jarvis Asset Management, Kartika Sutandi, menilai sejumlah penyesuaian diperlukan untuk mewujudkan bursa yang lebih berkualitas. 

Menurutnya, langkah tersebut antara lain mencakup penghapusan aturan Unusual Market Activity (UMA) dan Full Call Auction (FCA), serta membuka akses informasi kode broker investor.

"Hapus UMA dan FCA, lalu buka kode broker," ujar Kartika kepada Kontan, Minggu (10/8).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Powered Scenario Analysis AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004

[X]
×