Reporter: Harris Hadinata, Anastasia Lilin Y, Agung Jatmiko | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Kalau boleh agak ekstrem menggambarkan suasana industri reksadana, mungkin tepat jika kita mengi-barkan bendera kuning sebagai tanda berduka. Bagaimana
tidak, tiga dari empat indeks reksadana bentukan PT Infovesta Utama, sebuah lembaga riset pasar modal, mencatatkan rapor jeblok sepanjang 2013.
Tiga indeks itu adalah Infovesta Equity Fund Index (indeks reksadana saham), Infovesta Balance Fund Index (indeks reksadana campuran), dan Infovesta Fixed Income Fund Index (indeks reksadana pendapatan tetap). Performa tiga indeks reksadana ini juga terburuk dalam kurun tiga tahun terakhir. Cuma Infovesta Money Market Fund Index (indeks reksadana pasar uang) yang berapor biru.
Dari 96 produk reksadana saham yang didata Infovesta, 70 produk mencetak return negatif. Sementara jumlah produk reksadana campuran dan reksadana pendapatan tetap yang membukukan return negatif sama, yakni 56 produk. Total reksadana campuran dan reksadana pendapatan tetap yang didata masing-masing 97 produk dan 92 produk.
Itu berarti lebih 50% produk di setiap jenis reksadana gagal mencetak untung sepanjang 2013 lalu. Namun, meski begitu, ada saja MI yang berhasil menorehkan tingkat keuntungan hingga double digit atas salah satu atau beberapa reksadana racikan mereka.
Menurut Vilia Wati, analis Infovesta Utama, performa indeks reksadana pendapatan tetap paling jeblok karena menanggung dampak negatif harga obligasi yang tinggi sejak awal tahun. Harga tinggi menyebabkan gerak obligasi terbatas. Masuk akal, sih, sebab para manajer investasi (MI) memang biasa memanfaatkan trading obligasi untuk mengail keuntungan dari jual beli (capital gain), selain mencari keuntungan lewat pembayaran bunga oleh pemerintah maupun perusahaan penerbit surat utang.
Kinerja indeks reksadana campuran sebenarnya masih lumayan jika dibanding dengan indeks reksadana saham dan indeks reksadana pendapatan tetap, tertopang karakter sendiri. “Saat bursa saham naik hingga Mei 2013, reksadana campuran ikut naik. Tapi saat bursa jatuh, porsi obligasi dalam produk ini mencegahnya jatuh terlalu dalam,” beber Vilia.
Kinerja melempem reksadana, bisa ditebak, pelan namun pasti memicu pencairan dana lewat penjualan unit reksadana oleh investor (redemption). Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan indikasi tersebut. Per 20 Desember 2013 nilai aktiva bersih (NAB) reksadana secara nasional tinggal Rp 190,49 triliun. Padahal, sampai akhir Juli 2013 masih Rp 196,35 triliun. Dengan kata lain, selama kurang lebih selama lima bulan, nilai NAB susut 2,98%. Selain akibat penarikan dana, tentu penyusutan ini juga disebabkan penurunan harga saham yang menjadi basis reksadana saham dan campuran.
Sinyal makroekonomi
Meski sepanjang tahun 2013 pasar reksadana remuk-redam, tahun ini para pelaku pasar melihat banyak harapan dan sinyal penanda perbaikan makroekonomi. Analis obligasi Millenium Danatama Indonesia Desmon Silitonga mengungkapkan empat kondisi yang berpotensi menguntungkan pasar obligasi. Pada gilirannya, kondisi tersebut akan berpengaruh pula pada reksadana.
Pertama, isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah tak ada lagi. Kedua, defisit transaksi berjalan akan mengecil. Ketiga, ada peluang Bank Indonesia (BI) mengempiskan suku bunga acuan. Keempat, rupiah bisa dikendalikan di level Rp 11.000-an per dollar Amerika Serikat (AS).
Melongok data inflasi dan neraca perdagangan Badan Pusat Statistik (BPS), sinyal positif memang tampak. Inflasi Desember 2013 month to month (mtm) hanya 0,55%, tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan inflasi Desember 2012 dan Desember 2011, yakni masing-masing 0,54% dan 0,57%.
Meski begitu, kalau kita lihat dengan sudut pandang lebih luas, inflasi tahunan 2013 tetap paling tinggi. Sekadar pembanding, inflasi 2013 mencapai 8,38%, sedangkan inflasi 2012 dan 2011 masing-masing 4,30% dan 3,79%.
Seiring melandainya inflasi, neraca perdagangan per November 2013 juga mengalami surplus US$ 0,78 miliar. Catatan ini melanjutkan neraca perdagangan surplus di Oktober. Cukup melegakan, sebab sebelumnya minus dari April–Juli, lantas dilanjutkan minus juga di September.
Tumpuan harapan pada sentimen makroekonomi ini menyebabkan pelaku pasar tak melihat sentimen ekonomi global sebagai tantangan berarti. Bahkan terhadap tapering off oleh bank sentral AS, Direktur Danareksa Investment Management Hari Prihatmo berani bilang bahwa pasar sudah memasukkan kemungkinan tersebut dalam risiko investasi.
Tak kalah optimistis, Vice President Syailendra Capital Mulia Santoso berpendapat, jika inflasi bisa terjaga di bawah 6% dan rupiah cukup stabil di Rp 11.500 saja, reksadana saham berpotensi mengalami pembalikan ke arah tren positif terbesar ketimbang reksadana campuran dan reksadana pendapatan tetap. Namun sinyal positif bagi reksadana saham itu kemungkinan baru menyala selepas kuartal I nanti.
Sedikit berbeda, Herdianto Budiarto, Direktur Avrist Asset Management, mengaku belum yakin benar iklim investasi reksadana bakal kinclong meski data-data ekonomi awal tahun positif. Butuh kepastian setidaknya satu semester untuk memastikan kebenaran perbaikan ekonomi.
Strategi mengail return
Terlepas ada yang yakin dan ragu-ragu, para pengelola dana kompak optimistis return reksadana bisa positif tahun ini. Mulia memprediksi tahun ini return industri reksadana saham antara 10% hingga 15%. Adapun reksadana campuran diperkirakan mencetak untung 7%–10% dan reksadana pendapatan tetap menghasilkan 5%–10%. Proyeksi tersebut sekaligus menjadi target return untuk produk Syailendra.
Khusus reksadana pendapatan tetap, kebetulan koleksi Syailendra berada di nomor wahid daftar pencetak return tahun 2013. Alhasil perusahaan ini bakal menerapkan strategi serupa di tahun ini, yakni menempatkan dana dengan porsi hampir sama di obligasi pemerintah dan korporasi. Tenor obligasi yang dipilih tak lebih dari tiga tahun.
Terhadap obligasi korporasi, Syailendra memilih yang memiliki rating minimal A. Lantaran kondisi sektoral yang dianggap tak baik, perusahaan manajemen aset ini tak memilih penerbit obligasi dari sektor pertambangan dan perkapalan.
Samuel Aset Manajemen lebih berani menetapkan prediksi return. Agus Basuki Yanuar, Presiden Direktur Samuel AM, menuturkan target return reksadana pendapatan tetap 10%–12%. Adapun return reksadana campuran dan reksadana saham masing-masing diprediksi 13%–15% dan 18%–20%. Sayang Agus enggan buka-bukaan tentang jurus mengail laba yang dia lakukan sehari-hari.
Avrist, sebuah perusahaan manajer investasi yang lain, memilih metode bottom up untuk meracik reksadana saham dan reksadana campuran. Ini adalah metode memilih saham bukan berdasar sektor melainkan analisa kapitalisasi pasar dan likuiditas.
Ada tiga kategori saham dalam metode ini. Pertama, saham-saham yang memiliki potensi pertumbuhan di atas indeks (beat the index). Kedua, saham blue chips yang bergerak sejalan indeks (tracking index). Ketiga, saham-saham defensif.
Tidak ada persentase khusus bagi ketiga kategori ini. Hanya, jika kondisi pasar sedang bagus, komposisi saham beat the index ditambah. Jika yang terjadi sebaliknya, Avrist akan fokus ke saham-saham kategori tracking index dan defensif. Sementara penempatan portofolio di obligasi dan pasar uang dilakukan Avrist untuk mengantisipasi jika harga saham jatuh. Obligasi pemerintah adalah pilihan utama MI ini.
Perusahaan manajemen aset lain, OSO Manajemen Investasi, akan menghindari saham yang memiliki paparan tinggi terhadap perubahan suku bunga, seperti sektor keuangan dan properti. Saham-saham dari emiten yang banyak melakukan kegiatan impor juga akan dihindari.
Mengenai obligasi, senada dengan Avrist, surat utang pemerintah adalah pilihan utama OSO. “Kami pilih moderat. Kalau pun memilih obligasi korporasi, kami pilih terbitan BUMN,” ungkap Ruben Sukatendel, Head of Investment OSO.
Lain lagi dengan strategi Panin Asset Management. Terhadap reksadana berbasis saham, perusahaan ini menjatuhkan pilihan pada saham yang masih murah tapi berfundamental baik. Sektor favorit mereka adalah perbankan, konsumer, dan properti. “Meski terpengaruh suku bunga, masih ada emiten bank yang berkinerja baik. Perusahaan properti yang menyasar kelas atas juga layak dilirik,” ujar Rudiyanto, Head of Operation and Business Development Panin AM.
Terhadap reksadana obligasi, Panin melihat tahun ini ada potensi penurunan suku bunga. Artinya, muncul potensi pertumbuhan kinerja obligasi bertenor menengah hingga panjang. Panin mengincar obligasi tersebut. Tahun ini mereka mematok target return reksadana saham 19%–20%, reksadana pendapatan tetap 12%–14% dan reksadana campuran 15%–17%.
Siapa bernyali mendompleng keberuntungan para MI?
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 16 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News