Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Niat baik Danantara nyatanya belum berdampak positif ke kinerja emiten BUMN dalam waktu dekat ini.
Asal tahu saja, Danantara sudah mulai menyuntikkan dana ke sejumlah perusahaan pelat merah dan proyek yang mereka kerjakan.
Tengok saja, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) yang kemarin dikasih pinjaman oleh Danantara sebesar Rp US$ 405 juta atau sekitar Rp 6,65 triliun. Langkah ini merupakan kelanjutan dari proses restrukturisasi yang telah dijalankan Garuda Indonesia di 2022.
Lalu, PT Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) yang dapat suntikan US$ 120 juta. Di bisnis EBT lainnya, Danantara tengah membahas rencana penandatanganan Head of Agreement (HoA) dan Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO).
Sovereign Wealth Fund (SWF) ini juga terlibat dalam proyek pembangunan satu juta unit hunian vertikal dari investor asal Qatar. Selain itu, proyek PT Aneka Tambang (Tbk) (ANTM) dalam pengembangan nikel di Halmahera Timur juga dikabarkan akan menjadi salah satu proyek yang bakal dapat kucuran dana dari Danantara.
Baca Juga: Danantara Berencana Konsolidasi Perusahaan Asuransi BUMN, Begini Tanggapan AAUI
Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan menyampaikan, dampak kehadiran Danantara sebagai superholding bisa jadi solusi jangka panjang karena akan menyuntikkan dana hasil monetisasi aset-aset BUMN.
Namun, proses tersebut tidak instan, sehingga BUMN dengan kebutuhan belanja modal tinggi mungkin akan cenderung menahan ekspansi dalam waktu dekat sambil menunggu kepastian pendanaan dari Danantara. "Jadi transisinya tidak tanpa risiko," ujarnya kepada Kontan, Kamis (26/6).
Pengamat Pasar Modal sekaligus Direktur Avere Investama Teguh Hidayat, Danantara melakukan subsidi silang untuk penempatan dana dari emiten BUMN dengan kinerja baik ke proyek dari emiten yang lebih membutuhkan. Kehadirannya dan kebijakan Danantara sebenarnya bisa mendorong pemerataan kinerja BUMN dan pertumbuhan ekonomi domestik.
Seperti diketahui, emiten perbankan saat ini menjadi penyumbang dividen terbesar ke Danantara. "BUMN bersangkutan bisa dapat tambahan modal secara gratis tanpa perlu pinjam ke bank (kredit) atau pakai pendanaan lain," ujarnya kepada Kontan, Minggu (29/6).
Sayangnya, hal ini kemungkinan tidak akan membuat laju kinerja operasional dan pergerakan saham emiten-emiten BUMN membaik. Sebab, konsep besar Danantara bukan untuk menghasikan profit, tetapi mengutilisasi ulang aset BUMN.
Ambil contoh, sumbangan Danantara ke bisnis EBT yang butuh dana besar itu kemungkinan efeknya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang. Investasi Danantara di proyek EBT pun terkait dengan target pemerintah dalam mewujudkan net zero emmision (NZE).
Ada catatan juga bahwa belum ada jaminan uang yang disuntikkan Danantara tersebut bisa sukses menolong kinerja emiten BUMN berapor merah atau mendorong laju kinerja proyek beranggaran besar. Bahkan, ada kesan emiten perbankan dikasih tugas berat layaknya "sapi perah" untuk mendanai emiten BUMN lain yang berkinerja kacau balau.
"Ini semua hanya fokus untuk pembangunan dengan multiplier effect, bukan secara khusus agar BUMN bersangkutan yang disuntik modal itu untung," paparnya.
Baca Juga: Danantara akan Kucurkan Investasi US$ 120 Juta untuk Pertamina NRE
Prospek dan Rekomendasi Saham
Kinerja saham emiten BUMN terpantau memang masih lemas. Per Kamis (26/6), kinerja IDX BUMN20 masih turun 0,93% sejak awal tahun alias year to date (YTD).
Namun, jika dibandingkan dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang turun 2,58% YTD, kinerja BUMN20 masih lebih baik.
Direktur Anugerah Mega Investama, Hans Kwee mengatakan, kinerja IDX BUMN20 masih diselamatkan oleh sektor perbankan yang masih banyak peminatnya. "Kehadiran Danantara juga membantu mengelola BUMN secara profesional," ujarnya kepada Kontan, Kamis (26/6).
Di sisi lain, ada beberapa saham emiten BUMN dari sektor komoditas yang kinerja sahamnya menguat, seperti ANTM dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Namun, ke depan bakalan ada rotasi sektor akibat sentimen domestik dan global.
"Ketika tensi geopolitik memanas, emiten komoditas cenderung menguat dan emiten perbankan turun. Namun, saat keadaan normal lagi, nanti bank akan kembali menguat," paparnya.
Felix melihat, kinerja IDX BUMN20 yang relatif lebih baik dari IHSG secara YTD masih ditopang oleh saham-saham sektor energi dan perbankan, seperti ANTM, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), yang pulih karena momentum harga komoditas dan sentimen dividen.
"Selain itu, saham BUMN cenderung jadi pilihan defensif investor lokal di tengah keluarnya dana asing," ungkapnya.
Valuasi saham emiten BUMN juga lebih menarik dibanding LQ45, sehingga rotasi portofolio investor juga ikut mengalir ke BUMN20. Namun, per hari ini, sebagian saham mereka sudah priced in terhadap laporan keuangan kuartal I 2025 yang cukup solid.
"Sehingga, kenaikan sahamnya ke depan akan sangat tergantung sentimen dan fundamental kuartal berikutnya," paparnya.
Di kuartal II dan paruh kedua 2025, sektor energi dan tambang kemungkinan masih akan mencetak kinerja kuat karena potensi pemulihan harga komoditas emas, gas, dan batubara akibat tensi geopolitik.
Sektor perbankan juga masih menarik, karena kuat secara fundamental dan rutin bagi dividen. "Di sisi lain, sektor karya dan logistik mungkin lebih tertekan, karena minim sentimen proyek baru dan masih menunggu efek real dari peran Danantara," paparnya.
Sementara, Teguh pesimistis akan masa depan pergerakan saham emiten BUMN. Meskipun subsidi silang dividen dan pemerataan dana untuk proyek strategis bisa membantu pertumbuhan ekonomi, tapi hal ini cenderung tidak disukai investor. Sebab, subsidi silang itu bisa membuat belanja modal alias capital expenditure (capex) berkurang, kinerja emiten BUMN lebih lambat, dan tidak berfokus menghasilkan untung.
Meskipun begitu, emiten BUMN sektor perbankan dan komoditas dinilai menarik untuk dikoleksi. Untuk perbankan, alasannya karena Danantara yang bergantung pada dividen emiten Himbara membuat ada kepastian pembagian dividen ke depan.
Teguh pun merekomendasikan buy on weakness untuk BBRI, BBNI, BMRI, INCO, dan PGEO ketika mereka masing-masing menyentuh level Rp 3.000 per saham, Rp 4.500 per saham, Rp 4.500 per saham, Rp 2.900 per saham, dan Rp 800 per saham.
Baca Juga: Danantara Ajak BSI Bikin Instrumen Keuangan Syariah untuk Tarik Dana Asing
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan menambahkan, di kuartal II 2025, sektor energi dan bahan baku masih berpeluang mencatat pertumbuhan. Terutama, jika harga komoditas stabil tinggi dan Bank Indonesia (BI) kembali memberi sinyal pelonggaran suku bunga.
"Namun untuk sektor lainnya, seperti properti, perbankan, dan konsumer, mungkin akan masih tertekan kinerjanya di kuartal II," ujarnya kepada Kontan, Kamis (26/6).
Beberapa saham BUMN dalam IDX BUMN20 juga cukup layak dikoleksi para investor. Misalnya, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) dinilai menarik karena valuasinya yang masih rendah dengan price to book value (PBV) di bawah 1x, kinerja year to date (YTD) yang impresif, serta prospek pertumbuhan yang baik di tengah tren suku bunga menurun.
Lalu, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) juga menawarkan prospek pertumbuhan berkelanjutan dari bisnis gas yang resilien dan transisi ke energi bersih. PGEO juga potensial seiring kenaikan bobot indeks dan valuasi yang belum mahal.
Sementara, TINS layak untuk spekulatif buy karena memanfaatkan tren kenaikan harga Komoditas dan sentimen positif kendaraan listrik.
Nanti, saat kondisi geopolitik global membaik, saham perbankan dan properti mungkin bisa jadi pilihan menarik karena valuasi yang murah. "Saham batubara juga bisa jadi pilihan karena harga komoditas sudah mulai menguat namun belum ter apresiasi ke harga sahamnya," ungkapnya.
Dengan dukungan manajemen yang disiplin dan fundamental yang solid, emiten-emiten BUMN terpilih bisa menjadi tulang punggung penguatan indeks ke depan.
"Investor sebaiknya fokus pada saham BUMN yang memiliki valuasi menarik, posisi strategis di sektor unggulan, dan dukungan struktural dari kebijakan nasional, terutama di sektor energi, keuangan, dan tambang," katanya.
Ekky pun merekomendasikan beli akumulasi untuk BRIS di harga terakhir Rp 2.580 per saham dengan target Rp 2.700 per saham di swing pertama dan target lanjutan di Rp 3.000 per saham. Lalu, PGEO juga menarik dikoleksi selama harganya bertahan di atas Rp 1.250 per saham dengan target harga di Rp 1.600 per saham.
Selanjutnya: Prabowo Sebut Nilai Tambah Proyek Baterai Kendaraan Listrik bisa Capai US$ 48 Miliar
Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok 30 Juni-1 Juli, Provinsi Ini Siaga Hujan Sangat Lebat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News