Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga logam industri kompak turun pasca pemerintah China menekan produsen mobilnya untuk menghentikan ekspansi di Uni Eropa.
Berdasarkan Trading Economics, harga alumunium terkoreksi 0,23% ke US$2.636 per ton pada Jumat (25/10) pukul 19.11 WIB.
Nikel turun 0,82% ke US$16.165 per ton, sementara timah tidak bergerak di US$30.906. Adapun tembaga di pasar LME juga turun 0,15% ke US$9.502 per ton pada Kamis (24/10).
Baca Juga: Wall Street Dibuka Naik Jumat (25/10), Seiring Penurunan Imbal Hasil US Treasury
Beberapa komoditas untuk mobil listrik (EV), seperti lithium juga tidak bergerak di CNY 71.500 per ton, setelah sepekan terakhir turun 2,72%. Lalu Cobalt juga stagnan di US$ 24.300 per ton.
Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong mengatakan, sebetulnya nilai ekspor EV China ke Uni Eropa tidak terlalu besar, yakni kurang lebih US$10 miliar. Namun memang, secara sentimen akan mempengaruhi.
"Apalagi langkah proteksionis barat dikhawatirkan akan terus meningkat dengan kemenangan Trump," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (25/10).
Baca Juga: Terkena Profit Taking, Harga Emas Spot Turun ke US$2.723,09 pada Jumat (25/10)
Lukman berpandangan yang terdampak dari kebijakan pemerintah adalah komoditas pendukung EV sepertiĀ lithium, cobalt dan nikel.
Namun penurunan cobalt dan lithium dinilai bisa juga dikarenakan tren dan dinamika permintaan dan pasokan jangka panjang, kurang lebih seperti trend harga panel surya yang terus turun (economic of scale).
Lukman menilai prospek harga logam industri masih akan tertekan. Stimulus pemerintah China dianggap masih belum mencukupi, potensi Trump memenangkan pilpres juga menambah kelesuan logam industri yang merupakan komoditas yang rentan dikenai pajak dari langkah proteksionism.
Menurutnya, apabila Trump menang, kebijakan fiskalnya akan meredam permintaan logam-logam industri, memicu inflasi yang berujung pada menurunnya harapan pada pemangkasan suku bunga the Fed.
"Namun ada yang menyakini klaim Trump, yang apabila terpilih akan bisa mengakhiri perang, namun saya tidak bisa terlalu memberikan pandangan pada hal itu," sebutnya.
Baca Juga: Timah (TINS) Pastikan Segera Menambang di Laut Beriga
Untuk saat ini, Lukman menilai masih ada harapan China akan meningkatkan stimulus yang sedikit banyak mendukun permintaan. Namun potensi perang dagang, inflasi dan belum pulihnya ekonomi global membuat harga logam industri sulit untuk naik.
"Terlebih juga ketidakpastian yang akan diberikan oleh Trump yang saat ini diunggulkan untuk memenagi pilpres," sambungnya.
Direktur Laba Forexindo Berjangka, ibrahim Assuaibi sependapat bahwa apabila Trump memenangi pilpres, maka dolar AS akan kembali menguat dan berimbas negatif terhadap harga komoditas.
Selain itu, ekonomi China yang lesu akan tetap mempengaruhi permintaan impor China. Terlebih IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi China tahun ini di 4,8%, turun dari tahun lalu di 5,2%.
"Artinya, ekonomi yang lesu akan berpengaruh terhadap impor komoditas," sebutnya.
Baca Juga: Harga Aluminium Naik Selasa (22/10), Gara-Gara Alumina Semakin Mahal
Dus, Ibrahim memperkirakan harga logam industri pada akhir tahun akan turun. Tembaga diperkirakan dikisaran US$9.000 per ton, alumunium kisaran US$2.500 per ton, dan timah sekitar US$ 29.000 per ton.
Lalu Lukman juga menilai tahun ini harga logam industri pada umumnya masih tertekan, walau kemungkinan ada beberapa logam yang rebound, hanya karena masalah teknikal dan bargain hunting.
Baja yang oversupply diperkirakan akan turun ke US$2.800 - US$3.000 per ton, nikel yang saat ini berada di level support teknikal kuat diperkirakan akan rebound ke kisaran US$ 18.000 per ton.
Lalu tembaga dengan masih ada kekhawatiran supply di US$9.600 - US$9.800. Sementara timah diprediksi masih bisa bertahan di atas US$30.000 per ton dan potensi kembali naik ke US$33.000 per ton didukung oleh kekhawatiran pasokan.
"Namun harga dipastikan akan volatile dan bisa berubah setelah hasil pilpres AS keluar," tutup Lukman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News