Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Yudho Winarto
Untuk saat ini, Lukman menilai masih ada harapan China akan meningkatkan stimulus yang sedikit banyak mendukun permintaan. Namun potensi perang dagang, inflasi dan belum pulihnya ekonomi global membuat harga logam industri sulit untuk naik.
"Terlebih juga ketidakpastian yang akan diberikan oleh Trump yang saat ini diunggulkan untuk memenagi pilpres," sambungnya.
Direktur Laba Forexindo Berjangka, ibrahim Assuaibi sependapat bahwa apabila Trump memenangi pilpres, maka dolar AS akan kembali menguat dan berimbas negatif terhadap harga komoditas.
Selain itu, ekonomi China yang lesu akan tetap mempengaruhi permintaan impor China. Terlebih IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi China tahun ini di 4,8%, turun dari tahun lalu di 5,2%.
"Artinya, ekonomi yang lesu akan berpengaruh terhadap impor komoditas," sebutnya.
Baca Juga: Harga Aluminium Naik Selasa (22/10), Gara-Gara Alumina Semakin Mahal
Dus, Ibrahim memperkirakan harga logam industri pada akhir tahun akan turun. Tembaga diperkirakan dikisaran US$9.000 per ton, alumunium kisaran US$2.500 per ton, dan timah sekitar US$ 29.000 per ton.
Lalu Lukman juga menilai tahun ini harga logam industri pada umumnya masih tertekan, walau kemungkinan ada beberapa logam yang rebound, hanya karena masalah teknikal dan bargain hunting.
Baja yang oversupply diperkirakan akan turun ke US$2.800 - US$3.000 per ton, nikel yang saat ini berada di level support teknikal kuat diperkirakan akan rebound ke kisaran US$ 18.000 per ton.
Lalu tembaga dengan masih ada kekhawatiran supply di US$9.600 - US$9.800. Sementara timah diprediksi masih bisa bertahan di atas US$30.000 per ton dan potensi kembali naik ke US$33.000 per ton didukung oleh kekhawatiran pasokan.
"Namun harga dipastikan akan volatile dan bisa berubah setelah hasil pilpres AS keluar," tutup Lukman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News