Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menyampaikan, penghentian sementara salah satu tanur listrik INCO jelas membuat kemampuan produksi emiten tersebut.
Tak heran, kinerja produksi INCO mengalami penurunan pada kuartal I-2025. Sayangnya, harga nikel cukup volatil akhir-akhir ini dengan kecenderungan menurun, sehingga kondisi ini kurang menguntungkan bagi INCO.
“Untungnya INCO mampu menjalankan bisnisnya dengan efektif dan efisien, sehingga laba bersihnya mampu naik,” ujar dia, Rabu (30/4).
Dia menambahkan, dengan kondisi harga nikel yang tak menentu, maka kemampuan dalam melakukan efisiensi akan menjadi kunci bagi INCO untuk memulihkan kinerjanya pada kuartal-kuartal berikutnya.
Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham Vale Indonesia (INCO) yang Tertekan Harga Nikel
Selain itu, Nafan mengapresiasi langkah INCO yang tengah menggeber proyek-proyek terkait hilirisasi. Di antaranya adalah Indonesia Growth Project (IGP) Pomalaa, IGP Morowali, proyek pembangunan pabrik High Pressiure Acid Leach (HPAL) Sorowako.
Tiga proyek ini memiliki nilai investasi sebesar US$ 8,5 miliar dan diperkirakan selesai sekitar tahun 2026—2027 mendatang. “Hilirisasi ini akan meningkatkan nilai tambah produk INCO, tapi ini butuh waktu, sehingga efeknya lebih bersifat jangka panjang,” tutur dia.
Nafan tidak memiliki rekomendasi untuk saham INCO, hanya menyarankan wait and see bagi investor.
Sementara itu, Analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan mempertahankan rekomendasi beli saham INCO dengan target harga yang tidak berubah di level Rp 3.650 per saham, berdasarkan riset 30 April 2025.
Rekomendasi ini didasari atas rencana INCO yang berencana menjual sisa nikel matte sebanyak 210.000 metrik ton yang sudah ada dalam inventarisnya sepanjang kuartal II-2025.
Baca Juga: Laba Vale Indonesia (INCO) Turun di 2024, Cek Prospek Kinerja & Rekomendasi Sahamnya
INCO juga merevisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk area penambangan dan pengolahan nikel di Kecamatan Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah. Hal ini untuk mengamankan kuota bijih saprofit tambahan sebesar 2 juta metrik ton.
“Risiko penurunan kinerja INCO termasuk keterlambatan kemajuan pengembangan tambang nikelnya,” tandas Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan.
Selanjutnya: Defisit Keseimbangan Primer Dikhawatirkan Tertekan Penerimaan Pajak yang Seret
Menarik Dibaca: Ini Peluang dan Tantangan dari Indonesia yang Mendapat Pengenaan Tarif Resiprokal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News