Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja top line dan bottom line PT Vale Indonesia Tbk (INCO) merosot sepanjang tahun 2024. Pendapatan INCO menyusut 22,87% secara tahunan (year on year/yoy) dari US$ 1,23 miliar menjadi US$ 950,38 juta.
Penurunan pendapatan menekan perolehan laba INCO. Laba bersih emiten anggota holding industri pertambangan BUMN, MIND ID ini ambles 78,94% (yoy) dari US$ 274,33 juta menjadi US$ 57,76 juta pada tahun 2024.
Secara operasional, volume produksi dan penjualan nikel matte INCO tumbuh secara terbatas. Produksi nikel matte naik 0,82% (yoy) dari 70.728 metrik ton menjadi 71.311 metrik ton pada 2024. Meski tumbuh tipis, tapi realisasi produksi INCO melampaui target tahunan yang sebesar 70.805 metrik ton.
Baca Juga: Pendapatan Turun, Laba Vale (INCO) Anjlok 78,94% Jadi US$ 57,76 Juta
Sedangkan penjualan nikel matte INCO meningkat 2,13% (yoy) dari 71.108 metrik ton menjadi 72.625 metrik ton. Hanya saja, harga realisasi rata-rata mengalami penurunan sebanyak 24,48% (yoy) dari US$ 17.329 ton menjadi US$ 13.086 per ton.
Di tengah tekanan harga pada tahun 2024, Chief Executive Officer & Presiden Direktur Vale Indonesia, Febriany Eddy mengungkapkan INCO mempertahankan biaya tunai penjualan per unit yang kompetitif, yakni US$ 9.374 per ton. Ini menjadi biaya tunai terendah selama tiga tahun terakhir.
Febriany menjelaskan, penurunan laba bersih INCO pada tahun 2024 didapat setelah memperhitungkan kerugian yang belum terealisasi atas pengakuan nilai wajar aset derivatif. Ini berupa hak partisipasi atas investasi INCO di PT Kolaka Nickel Indonesia (KNI) dan PT Huali Nickel Indonesia (HNI).
"Penting untuk digarisbawahi bahwa esensi dari penyesuaian harga derivatif ini adalah kerugian yang belum terealisasi yang bersifat non-operasional," kata Febriany dalam keterbukaan informasi, Rabu (26/2).
Jika dinormalisasi, maka laba bersih INCO mencapai US$ 73,3 juta dalam setahun penuh 2024. Febriany melanjutkan, pada tahun lalu INCO mengucurkan belanja modal alias capital expenditure (capex) sebesar US$ 332,1 juta.
INCO sedang menggarap tiga proyek strategis di Pomalaa, Bahodopi dan Sorowako. Di sisi lain, pada akhir tahun 2024 INCO mendapat persetujuan revisi Rencana Kerja dan Anggaran (RKAB), yang memungkinkan untuk mulai menjual bijih nikel.
"Sebuah langkah penting dalam memajukan strategi penjualan bijih kami," ujar Febriany.
Baca Juga: Izin Usaha 8 Perusahaan Tambang Sudah Diperpanjang, Mayoritas Lahannya Dipangkas
Rekomendasi Saham
Investment Analyst Stockbit Hendriko Gani menilai pencapaian laba bersih INCO di bawah ekspektasi. Gani menyoroti tiga faktor yang akan mempengaruhi kinerja INCO ke depan. Pertama, volatilitas harga nikel di tengah potensi kelebihan pasokan (oversupply).
Kedua, upaya INCO dalam melakukan efisiensi. Ketiga, pertumbuhan volume penjualan bijih nikel dari pit baru di Pomalaa dan Bahodopi. Adapun, sebelumnya INCO tidak menjual bijih nikel saprolite dan hanya menjual nikel dalam bentuk matte.
INCO berpotensi mencatatkan penambahan penjualan 1,7 juta wet metric ton (wmt) saprolite pada 2025. Terdiri dari 1,4 juta wmt dari Bahodopi dan 300.000 wmt dari Pomalaa.
Baca Juga: Diversifikasi dan Efisiensi Jadi Kunci Kinerja INCO
Analis RHB Sekuritas Indonesia Muhammad Wafi mengamati tingkat produksi INCO yang relatif stabil pada tahun lalu.
Dus, faktor pendorong pendapatan INCO akan tergantung dari harga jual, sedangkan harga nikel masih melandai.
Wafi melihat peluang kenaikan harga nikel pada tahun ini. Pendorongnya adalah sentimen dari perang tarif, potensi pengurangan produksi dari beberapa smelter di Indonesia, serta peluang pemulihan ekonomi China.
Investment Analyst Edvisor Profina Visindo Indy Naila turut melihat peluang bagi INCO untuk memperbaiki kinerja pada tahun 2025. Katalis pendorong bisa datang dari perbaikan margin seiring kemampuan efisiensi yang cukup kuat dari INCO.
Katalis lainnya adalah proyek-proyek hilirisasi yang ke depannya berpotensi meningkatkan pendapatan INCO. Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer juga menaksir INCO bisa memperbaiki kinerja.
Performa INCO bisa terdorong oleh potensi stabilisasi harga nikel global dan penyelesaian proyek ekspansi.
"Tapi jika harga nikel tetap volatile, kinerja masih INCO bisa tertekan," ujar Miftahul.
Dari sisi pergerakan saham, laju harga INCO juga melandai. Meski mampu menguat 4,73% ke level Rp 2.880 per saham pada Rabu (26/2), tapi secara year to date, harga saham INCO anjlok 20,44%.
Indy mengingatkan pergerakan harga saham INCO masih dalam tren bearish dalam jangka pendek. Dus, dia menyarankan untuk wait and see terlebih dulu dengan mencermati support di level Rp 2.700.
Sementara itu, Miftahul melihat harga saham INCO sedang mengalami konsolidasi di daerah support dan berpeluang rebound dalam waktu dekat. Miftahul menyarankan trading buy saham INCO dengan target harga Rp 3.380 per saham.
Selanjutnya: Pengamat: Blending BBM Memungkinkan, Tapi Tidak untuk Komersial
Menarik Dibaca: Bali Soap Luncurkan Produk Body Butter dan Hand Cream Terbaru
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News