kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Produk ETF masih sulit berkembang di Indonesia


Rabu, 13 Desember 2017 / 22:30 WIB
Produk ETF masih sulit berkembang di Indonesia


Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak pertama kali muncul di tahun 2007, produk exchange traded fund (ETF) masih kesulitan berkembang di Indonesia. Hingga saat ini, baru ada 13 produk ETF yang beredar di berbagai bursa saham Indonesia.

Presiden Direktur Indo Premier Investment, Diah Sofiyanti mengatakan, Indonesia tergolong terlambat mengenal instrumen ETF atau reksadana bursa. ETF pertama kali muncul di Kanada pada tahun 1989 dengan nama Toronto Index Participation Share.

Adapun di Indonesia, ETF baru diluncurkan pada tahun 2007 yang mana Indo Premier menjadi pionernya dengan produk Premier ETF LQ45. "Di Eropa dan Amerika, ETF menjadi produk yang paling aktif diperdagangkan," kata sosok yang disapa Ofi tersebut, Rabu (13/12).

Ia pun melanjutkan, Indo Premier telah memiliki sembilan produk ETF hingga saat ini. Selain Indo Premier Investment, manajer investasi yang menyediakan ETF adalah Pinnacle Investment.

Dalam presentasinya, Ofi menyebut Inggris menjadi negara dengan jumlah produk ETF terbanyak di dunia, yakni 2.567 unit sampai tahun ini. Kemudian, Amerika Serikat menguntit di posisi kedua dengan jumlah ETF sebanyak 1.457 unit. Sedangkan Korea Selatan yang berada di posisi ketiga memiliki produk ETF sebanyak 246 unit.

Menurut Ofi, ETF masih sulit berkembang di Indonesia lantaran ekosistemnya yang belum terbentuk secara sempurna. Mengingat produk tersebut diperdagangkan di bursa, artinya ada sinergi antara manajer investasi dengan anggota bursa sebagai distributor. "Sayangnya, dari pihak bursa belum banyak yang bisa menjadi partner bagi manajer investasi," katanya.

Di samping itu, Ofi berpendapat, manajer investasi dinilai belum terlalu tertarik dengan ETF karena tidak mendapat keuntungan dari management fee. Investor pun hanya dikenakan biaya broker di kisaran 0,15%-0,35% ketika bertransaksi ETF.

Wawan Hendrayana, Head of Investment Research Infovesta Utama menambahkan, mayoritas investor Indonesia memang masih awam terhadap produk ETF. Selain ETF sendiri belum teredukasi dengan baik, investor juga harus menghadapi risiko likuiditas.

Pasalnya, investor tidak bisa selalu menjual unitnya pada harga indeks yang menjadi acuan ETF. "Makanya pekerjaan rumah bagi fund manager adalah menjaga likuiditas produk ETF-nya di pasar sekunder," kata Wawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×