Reporter: Rashif Usman | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat pada 2014, pasar modal Indonesia mengalami berbagai dinamika yang signifikan. Periode kepemimpinan Jokowi dipenuhi oleh sejumlah tantangan, baik secara global maupun dalam negeri.
Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) misalnya mencatatkan pertumbuhan sebesar 51,31% selama Jokowi menjabat sebagai Presiden. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang melonjak drastis 489,29%.
Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan pertumbuhan IHSG di bawah pemerintahan Jokowi dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain, ketidakstabilan ekonomi global, dampak dari pandemi Covid-19, serta perubahan kebijakan ekonomi yang lebih berfokus pada pembangunan infrastruktur jangka panjang.
Baca Juga: Asing Banyak Menjual Saham-Saham Ini Saat IHSG Melonjak 1,13%, Kamis (17/10)
Di sisi lain, di era SBY, pertumbuhan IHSG terdorong oleh commodity boom, dengan sektor energi dan agribisnis yang mendominasi kinerja bursa. Berbeda pada pemerintahan Jokowi, sektor tersebut tidak lagi mengalami pertumbuhan signifikan.
Menurut Hendra, sektor yang paling moncer selama Jokowi memimpin pemerintahan ialah perbankan. Pasalnya, pemerintah fokus pada inklusi keuangan dan transformasi digital. Sejumlah bank besar seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) mencatat kinerja yang positif didorong oleh pertumbuhan ekonomi domestik yang cukup stabil meskipun menghadapi tekanan global.
Di sisi lain, sektor properti dan infrastruktur relatif stagnan karena investasi besar yang dilakukan pemerintah belum menunjukkan dampak langsung ke pasar modal. Emiten di sektor energi juga mengalami tekanan karena transisi menuju energi terbarukan, sementara sektor teknologi belum sepenuhnya berkembang di Indonesia.
Baca Juga: Intip Saham yang Banyak Dilego Asing di Tengah Kenaikan IHSG pada Kamis (17/10)
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo, menilai kinerja bursa saham masih positif mengingat selama 10 tahun belakangan juga terpengaruh oleh sentimen global seperti adanya perang dagang, Covid-19, serta perang Timur Tengah dan Ukraina-Rusia yang membuat kenaikan inflasi global.
"Hal ini membuat kekhawatiran global. Walaupun begitu kinerja JCI yang mencatatkan 50% ini mencerminkan kinerja indeks kita yang masih terjaga," jelas Azis kepada Kontan, Kamis (17/10).
Azis juga menyoroti bahwa sektor energi masih menjadi penopang utama, sementara sektor konsumsi merasakan tekanan akibat perlambatan konsumsi masyarakat.
Noda Hitam Pasar Modal
Hendra juga menyoroti sisi Good Corporate Governance (GCG) di bursa. Meskipun ada peningkatan jumlah emiten dan investor selama pemerintahan Jokowi, kualitasnya masih menjadi pertanyaan.
"Banyak emiten kecil yang masuk bursa, namun kualitas tata kelola dan transparansi mereka dipertanyakan," kata Hendra kepada Kontan, Kamis (17/10).
Kasus-kasus terkait manipulasi saham, seperti skandal Benny Tjokro dan Heru Hidayat juga menjadi catatan hitam dalam pasar modal Indonesia. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa meskipun secara kuantitas ada peningkatan, kualitas GCG masih belum memadai.
Baca Juga: IHSG Melonjak 1,13% Hari Ini, BBCA, BMRI, BRMS Paling Banyak Net Buy Asing
Hendra juga bilang skandal-skandal yang menerpa pasar modal dalam 10 tahun terakhir memberikan dampak negatif terhadap kepercayaan investor.
Meskipun jumlah investor meningkat, sederet skandal ini memperlihatkan masih ada celah dalam pengawasan pasar. Efeknya dapat dilihat dari volatilitas yang tinggi dan keengganan investor institusi untuk masuk ke beberapa sektor yang terdampak skandal.
"Ke depannya, peningkatan kualitas GCG akan menjadi kunci penting untuk menjaga kepercayaan investor," ujarnya.
Baca Juga: Proyeksi IHSG dan Saham Rekomendasi Analis pada Perdagangan Jumat (18/10)
Azis setuju bahwa kasus-kasus ini memberikan dampak signifikan pada pasar, namun ia menilai OJK dan bursa telah mulai mengevaluasi dan memperbaiki regulasi, termasuk legalisasi market maker untuk meningkatkan transaksi. "Kita tunggu hasil regulasinya," tuturnya.
Utamakan Kualitas
Terkait fokus bursa pada kuantitas atau kualitas, Hendra cenderung berpendapat bahwa kualitas harus lebih diutamakan. Bursa yang hanya fokus pada peningkatan jumlah investor atau emiten tanpa memperhatikan kualitas akan rentan terhadap manipulasi pasar. Ini tentunya dapat merusak integritas pasar modal.
Azis melihat kualitas dan kuantitas perusahaan yang terdaftar harus bisa maju beriringan. Ketika bertambahnya investor baru atau pemula dengan kualitas yang baik, maka bisa meminimalisir fear sehingga menciptakan transaksi yang sehat di pasar modal.
Oleh karena itu, penting bagi bursa untuk memastikan bahwa setiap emiten yang terdaftar memiliki tata kelola yang baik dan transparan. Banyaknya emiten kecil yang masuk bursa dan cenderung menjadi saham gorengan memang menjadi perhatian utama.
Hendra menilai bahwa regulasi yang lebih ketat perlu diterapkan untuk memastikan emiten-emiten tersebut layak diperdagangkan secara publik. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan investor, terutama investor ritel yang sering kali menjadi korban dalam saham gorengan.
Sementara itu, Azis mengungkapkan dari segi Initial Public Offering atau IPO, bursa dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini sudah mulai memperketat dan mengevaluasi calon emiten IPO.
Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham Emiten Big Cap yang Tertekan dalam 10 Tahun Terakhir
Kiat Investasi Era Prabowo
Presiden Terpilih dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan bekerja secara efektif pada Senin (21/10) mendatang. Pelaku pasar menantikan arah kebijakan ekonomi yang akan ditempuh.
Pada periode Prabowo kelak, Hendra menyarankan agar investor tetap fokus pada fundamental perusahaan dan menghindari saham dengan volatilitas tinggi yang tidak didukung oleh fundamental kuat.
Dalam jangka panjang, sektor-sektor yang terkait dengan teknologi, energi terbarukan, dan sektor keuangan yang solid akan menjadi pilihan yang baik.
"Sementara untuk trading jangka pendek, sektor konsumsi dan perbankan masih bisa memberikan peluang yang menarik," jelasnya.
Baca Juga: Kinerja SMGR Ditopang Kenaikan Harga Semen, Cermati Rekomendasi Analis
Di samping itu, Azis menjelaskan sejumlah kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintahan baru seperti program makan bergizi gratis bisa memengaruhi emiten sektor konsumer.
Adapun, pemotongan levy Crude Palm Oil (CPO) serta revisi Mitra Instansi Pengelola (MIP) batu bara juga mendorong emiten yang berkaitan.
"Terlebih saat ini juga adanya pemotongan suku bunga yang mana bisa mempengaruhi emiten properti ataupun semen," tutup Azis.
Azis merekomendasikan untuk mencermati saham MYOR, AMRT, PTBA dan SMGR dengan masing-masing target harga Rp 3.150, Rp 3.500, Rp 3.530 dan Rp 4.880 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News