Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang antara Israel melawan Hamas (Palestina) kembali memanaskan tensi geopolitik di wilayah Timur Tengah hingga merembet secara global. Kondisi ini berpotensi menyulut harga komoditas energi, khususnya minyak dan gas bumi (migas).
Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mengingatkan konflik di wilayah kunci seperti Timur Tengah bisa memicu lonjakan harga migas. Setidaknya dalam jangka pendek, Arjun melihat ada potensi kenaikan lebih lanjut untuk harga minyak mentah dunia seiring ketidakpastian terkait pasokan.
Sebelum ada sentimen perang Israel vs Hamas, tren harga minyak sempat menanjak akibat pemangkasan ekspor dari negara produsen utama seperti Arab Saudi.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Naik 4% di Tengah Kekhawatiran Eskalasi Konflik Timur Tengah
"Biasanya kalau ada perang serius pasokan minyak mengalami kendala, jadi wajar jika minyak melonjak cukup tinggi," kata Arjun kepada Kontan.co.id, Selasa (10/10).
Hanya saja, perang Israel vs Hamas tidak serta merta membuat harga minyak mentah meroket tinggi. Merujuk Tradingeconomics.com, harga minyak mentah dunia masih belum kembali menembus level US$ 90 per barel. Hingga Selasa (10/10) malam, WTI ada di harga US$ 86 per barel, sedangkan Brent di US$ 87,9 per barel.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Robertus Hardy menengok kembali pergerakan harga minyak mentah saat terjadi perang Rusia vs Ukraina pada akhir Februari 2022 lalu. Kala itu, terjadi kenaikan harga minyak mentah WTI sebesar 36% dari US$ 92 menjadi US$ 125 per barel, hanya dalam tujuh hari perdagangan.
Kemudian terjadi fluktuasi dan cepat turun kembali ke level US$ 95 per barel dalam lima hari. Secara bertahap, harga minyak kembali menanjak ke level US$ 122 per barel dalam sembilan minggu.
"Hal ini lebih disebabkan karena kedua negara merupakan produsen utama beberapa komoditas utama termasuk migas, yang proses distribusinya terganggu saat itu," terang Robertus.
Kondisinya bisa berbeda dengan perang Israel vs Hamas. Robertus bilang, pergerakan harga komoditas akan dipengaruhi oleh masing-masing fundamentalnya. Dalam kasus minyak mentah, konflik geopolitik dapat mengganggu distribusi jika terjadi di wilayah dengan kapasitas produksi yang signifikan, seperti di Rusia.
Sedangkan konflik antara Israel dan Hamas bukan termasuk produsen minyak mentah utama secara global. Sehingga, Robertus mengingatkan agar investor berhati-hati jika ingin mengambil keputusan investasi dalam momentum saat ini.
Pelaku pasar perlu mencermati potensi volatilitas harga komoditas yang dapat berdampak pada pergerakan saham emiten terkait.
"Lonjakan harga suatu kelas aset secara tiba-tiba dalam hal ini komoditas, biasanya diikuti dengan penurunan tajam dalam waktu yang relatif singkat," terang Robertus.
Head of Research Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan sepakat, pelaku pasar harus tetap rasional. Meski terdapat peluang kenaikan harga saham seiring potensi lonjakan harga komoditas, perlu cermat memilah emiten yang memiliki potensial upside atau yang secara rasio harga masih relatif undervalue.
Apalagi, masih sulit mengukur seberapa signifikan konflik Israel vs Hamas ini akan menjadi katalis bagi saham energi, "Masih sulit menakar dampaknya sejauh apa, sebab kita pun sampai saat ini masih terus mencermati seberapa jauh eskalasi konflik dalam beberapa waktu ke depan," sebut Valdy.
Baca Juga: IHSG Menguat pada Selasa(10/10), Begini Proyeksinya untuk Rabu (11/10)
Yang pasti, saham-saham terkait komoditas energi menjadi salah satu penggerak (mover) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Tak hanya migas, Valdy melihat situasi saat ini bisa turut mendongkrak saham-saham batubara, sejalan dengan ekspektasi lonjakan harga batubara global.
Head of Research InvestasiKu Cheril Tanuwijaya menambahkan, konflik Israel vs Hamas sebagai katalis tambahan bagi saham migas dan batubara. Sebab, secara historis pada periode akhir tahun sektor energi biasanya mengalami penguatan.
Apalagi ketika batubara mengalami lonjakan permintaan menyambut musim dingin.
"Selain soal perang, cuaca ekstrem di tengah perlambatan ekonomi memaksa mayoritas negara memilih sumber energi murah meski dinilai tidak ramah lingkungan sehingga pilihannya ke batubara," sebut Cheril.
Sebagai rekomendasi, Cheril menjagokan saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) dengan target harga Rp 1.650 dan stoploss (SL) di Rp 1.150. Saham pilihan lainnya adalah PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) dengan target harga Rp 1.550 dan stoploss di Rp 1.400.
Kemudian, pelaku pasar bisa melirik saham PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) dengan target harga di Rp 1.600 dan stoploss pada Rp 1.100. Lalu saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dengan target harga di Rp 29.500 dan stoploss di Rp 25.000.
Valdy juga memiliki beberapa saham pilihan emiten batubara. Valdy menyematkan rekomendasi buy untuk saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Harum Energy Tbk (HRUM) dan ITMG.
Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan melihat momentum kenaikan harga komoditas bisa menjadi momentum untuk trading saham-saham berbasis energi.
"Namun patut dicermati harga komoditas bergerak cukup cepat dan menjadikan volatilitas harga sahamnya," kata Felix.
Felix merekomendasikan saham MEDC dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dengan target harga masing-masing di Rp 1.700 dan Rp 1.900. Arjun juga melihat saham MEDC menarik dikoleksi dengan target harga di Rp 1.600 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News