Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) telah melakukan revisi terhadap sejumlah poin dalam regulasi Papan Pemantauan Khusus. Namun, protes soal kebijakan ini masih berlanjut.
Mekanisme perdagangan yang menggunakan skema Full Call Auction (FCA) ini masih mengundang protes dari pelaku pasar.
Di ranah publik, setidaknya ada dua petisi yang termuat di Change.org dengan tuntutan yang senada: menolak penerapan FCA. Petisi pertama dimulai pada 25 Maret 2024 oleh akun yang menamakan dirinya IndoStocks Traders.
Hingga Minggu (23/6) petisi tersebut menghimpun sebanyak 16.210 tanda tangan. Kedua, petisi yang dimulai pada 12 Juni 2024 oleh akun "Saham Daily", yang telah mengumpulkan 165 tanda tangan.
"Saham Daily" menuliskan bahwa penerapan FCA di BEI sangat merugikan investor. Sistem ini dinilai dapat menyebabkan volatilitas yang tinggi dan penurunan drastis auto rejection bawah berhari-hari pada harga saham.
Situasi tersebut bisa mengakibatkan kerugian besar bagi para investor. "Kami menolak penerapan FCA karena tidak adil dan berpotensi merusak stabilitas pasar modal Indonesia," tulis "Saham Daily".
Baca Juga: Mentok di Rp 50 Per Saham, Apakah Saham GOTO Akan Masuk FCA?
"IndoStocks Traders" punya pandangan serupa, yang menilai kebijakan ini membuat pasar saham menjadi tidak stabil dan sulit diprediksi. "Sangat mirip dengan permainan judi daripada investasi jangka panjang," ungkapnya.
"IndoStocks Traders" menyoroti ketiadaan tawaran beli atau jual alias bid-offer pada saham dengan skema FCA. Seperti diketahui, skema FCA ini mengandalkan Indicative Equilibrium Price (IEP) dan Indicative Equilibrium Volume (IEV) untuk memperkirakan harga dan volume saham.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik mengatakan kemungkinan pembukaan bid-offer bakal menjadi bahan evaluasi otoritas bursa. Dia menyatakan, BEI terbuka untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi papan pemantauan khusus.
Jeffrey mencontohkan revisi Peraturan Nomor I-X yang efektif diterapkan pada 21 Juni 2024. Revisi itu sekaligus menjadi respons BEI terhadap tekanan eksternal, yakni kondisi keuangan dan pasar global yang bisa berdampak terhadap pasar saham Indonesia.
Bersamaan dengan itu, Jeffrey meminta agar para emiten juga memperbaiki fundamental perusahaannya dan memenuhi aspek Good Corporate Governance (GCG). Sehingga saham tersebut terlepas dari notasi khusus dan tidak terkena suspensi oleh BEI.
Dengan begitu, diharapkan saham yang berada di papan pemantauan khusus akan semakin berkurang. "Dari BEI tentu akan terus melakukan evaluasi, tetapi dari emiten juga kami harapkan melakukan upaya perbaikan. Fokus kami ke depannya bagaimana agar semakin sedikit saham di Papan Pemantauan Khusus," terang Jeffrey.