Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten penghuni indeks LQ45 telah merilis laporan keuangan untuk periode tiga bulan pertama 2021. Sebanyak 17 emiten penghuni LQ45 mencatatkan pertumbuhan.
Emiten-emiten tersebut adalah PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA), PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN).
Kemudian, ada enam emiten yang membukukan peningkatan laba bersih, yaitu PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT United Tractors Tbk (UNTR), dan Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS).
Analis Panin Sekuritas William Hartanto menuturkan pertumbuhan pada sektor pertambangan terdorong oleh kenaikan harga komoditas. Dia memproyeksikan sektor ini masih akan cukup kuat hingga akhir tahun.
Baca Juga: Wall Street menguat terangkat data tenaga kerja, S&P 500 menuju rekor lagi
Kemudian, untuk sektor properti karena penurunan bunga kredit dan penurunan harga rumah di masa pandemi dimanfaatkan oleh investor properti untuk membeli rumah. Tapi dia menilai kinerja sektor properti tidak akan bertahan hingga akhir tahun nanti karena daya beli masyarakat masih rendah.
Namun, untuk jangka pendek dia bilang dengan perbaikan kinerja maka daya tariknya pun ada. "Ini jadi peluang untuk buy on weakness," sebut William.
Kemudian, beberapa sektor yang mencatat penurunan kinerja di dalam indeks ini yakni sektor konstruksi, rokok, dan FMCG. William menilai untuk sektor konstruksi disebabkan oleh adanya pembatasan aktivitas sehingga pembangunan agak terhambat. Sementara untuk sektor rokok disebabkan oleh kenaikan cukai.
Karena itu, William menilai penurunan kinerja tersebut bisa berdampak pada tidak menariknya saham tersebut. "Tentu jadi tidak menarik khususnya di sektor consumer karena selama ini dikenal sebagai sektor defensif ternyata tidak mampu survive di masa pandemi. Belum lagi, saham-saham ini ditinggalkan sejak booming sektor teknologi," ujar William.
Baca Juga: Masuk indeks Sri-Kehati, simak rekomendasi analis untuk saham POWR dan TINS
Sementara itu, Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menilai menarik atau tidak menariknya sebuah saham tergantung pada fokus investor. Menurutnya, jika untuk trading maka kurang menarik.
Namun, untuk jangka panjang bisa menerapkan strategi buy on weakness. Dia mencontohkan saham ICBP yang mencatatkan penurunan laba bersih pada kuartal pertama. Wawan menjelaskan penurunan laba bersih tersebut bukan karena dari beban penjualan ICBP saja, melainkan hasil konsolidasi laporan keuangan Pinehill.
Oleh sebab itu, dia menilai untuk jangka panjang saham ICBP masih menarik. "Kami percaya akuisisi ini juga kesempatan untuk makin memperluas pasar di luar negeri. Memang, untuk jangka pendek beban akuisisi ini pasti membebani keuangan sehingga dalam jangka waktu 1-2 tahun ini secara laporan keuangan tidak akan tumbuh tinggi. Namun, tahun ketiga dan keempat baru akan bagus," ujar Wawan.
Kemudian pada sektor pertambangan, beberapa emiten juga mencatatkan penurunan kinerja. Menurut Wawan, itu disebabkan penurunan permintaan. Terlebih dengan adanya dorongan menggunakan clean energy dari negara-negara besar. "Hari ini juga diberitakan, Tiongkok batal membangun pembangkit listrik batubara di Afrika. Nah, ini bisa menjadi sentimen negatif," ujar dia.
Baca Juga: Pemberlakuan PPKM darurat berpotensi melemahkan rupiah
Memasuki kuartal ketiga ini, pemerintah telah menerapkan PPKM Darurat untuk Jawa dan Bali. Wawan menilai akan memberikan tekanan pada beberapa sektor, khususnya transportasi dan ritel. Selain itu, sektor keuangan juga bisa terdampak karena ada potensi peningkatan NPL.
Oleh sebab itu, Infovesta Utama menyarankan investor memperhatikan saham-saham yang fundamentalnya baik dan bisnis modelnya bisa bertahan. Salah satunya BBNI karena memiliki valuasi yang cukup murah sebagai bank buku IV.
Selain itu, BBCA juga disebutnya menarik karena tetap mampu membukukan pendapatan di tengah pandemi ini, lalu sektor telekomunikasi, khususnya terkait tower yakni TBIG dan TOWR karena sekalipun PPKM terus diperpanjang maka kebutuhan data semakin meningkat sehingga memberikan keuntungan pada kedua emiten tersebut. "Kemudian dari FMCG, saham UNVR menarik karena termasuk all time low dan ICBP karena sedang murah," sebut Wawan.
Baca Juga: Kinerja Bitcoin mengalahkan aset konvensional di semester pertama tahun ini
Dari sana, Wawan merekomendasikan BBCA dengan target harga hingga akhir tahun di level Rp 34.000 per saham. Kemudian, BBNI dengan target harga Rp 5.500, TBIG dengan target harga Rp 3.500, dan TOWR dengan target harga Rp 1.300 per saham.
Sementara, William merekomendasikan BBCA dengan target harga Rp 34.000-Rp 35.000, BBRI dengan target harga Rp 4.500, ADRO dengan target harga Rp 1.350-Rp 1.500, ASII dengan target harga Rp 5.800, TLKM dengan target harga Rp 3.640 GGRM dengan target harga Rp 47.000-Rp 50.000, dan ICBP dengan target harga Rp 9.500.
"Sejak April saat IHSG konsolidasi, setiap pelemahan bisa dimanfaatkan untuk buy on weakness dan strategi ini bisa terus diterapkan di semester kedua," pungkas William.
Baca Juga: IHSG menguat 0,34% ke 6.005 hingga akhir perdagangan Kamis (1/7)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News