Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Surat utang menjadi salah satu pilihan korporasi bertahan di tengah situasi global yang masih tak pasti. Namun, risiko gagal bayar masih membayangi.
Data Pefindo menyebutkan, selama tiga bulan pertama tahun 2025, penerbitan surat utang korporasi secara keseluruhan mencapai Rp 46,7 triliun, dengan penerbitan obligasi dan sukuk sebesar Rp 46,4 triliun serta surat utang jangka pendek (LTN) dan jangka menengah (MTN) mencapai Rp 0,4 triliun.
Secara khusus, penerbitan obligasi dan sukuk meningkat dari triwulan I 2024 di angka Rp 25,1 triliun.
Jumlah penerbitan surat utang paling banyak dilakukan oleh industri pulp dan kertas dengan rincian Rp 8 triliun obligasi dan 5,1 triliun sukuk.
Baca Juga: Trump Menunda Tarif Resiprokal, Pasar Obligasi Domestik Diproyeksi Rebound
Di urutan kedua, industri pertambangan menerbitkan Rp 6,3 triliun obligasi, Rp 0,1 triliun MTN, dan Rp 2,8 triliun sukuk.
Di urutan ketiga, industri multifinance menerbitkan Rp 6,7 triliun obligasi dan Rp 1,6 triliun sukuk.
Pada Press Conference yang diadakan pada Selasa (15/4), Pefindo mengungkapkan bahwa dari 72,4% surat utang korporasi yang diperingkatkan, diketahui dana yang dihimpun korporasi dialokasikan 53,6% untuk refinancing dan 41,5% untuk modal kerja.
Hingga akhir tahun 2025 nanti, penerbitan surat utang korporasi diproyeksi akan mencapai Rp 139,29 triliun–Rp 155,43 triliun, meningkat dari tahun 2024 yang sebesar Rp 147,7 triliun.
Hal itu didorong dengan kebutuhan refinancing yang dinilai masih tinggi. Di samping itu, perusahaan cenderung mencari pendanaan dari dalam negeri di tengah volatilitas nilai tukar dan suku bunga global yang masih tinggi.
Di sisi lain, korporasi juga menghadapi sejumlah tantangan dalam penghimpunan dana dari surat utang. Selain risiko geopolitik dan ekonomi global yang masih tinggi, surat utang pemerintah dengan tawaran yield yang lebih pasti menjadi saingan utama.
Dus, risiko gagal bayar juga menjadi salah satu tantangan.
“Secara umum, dari sisi bisnis maupun keuangan dalam jangka pendek, risiko gagal bayar memang lebih tinggi,” ungkap Danan Dito, Kepala Divisi Pemeringkatan Lembaga Keuangan Pefindo.
Baca Juga: Trump Menunda Tarif Resiprokal, Pasar Obligasi Domestik Diproyeksi Rebound
Lebih lanjut, Danan Dito mengungkapkan, risiko gagal bayar korporasi akan dipengaruhi sejumlah hal berikut.
Ketergantungan ekspor, mempertimbangkan kebijakan tarif Amerika Serikat yang masih berpotensi berlanjut setelah masa penangguhan.
Ketergantungan impor untuk bahan baku.
Harga komoditas yang masih sangat terpengaruh kebijakan tarif.
Pinjaman dalam mata uang asing, khususnya yang jatuh tempo dalam 1-2 tahun, mempertimbangkan nilai tukar rupiah yang masih dalam tren pelemahan.
Kendati begitu, surat utang dinilai tetap menjadi aset pilihan.
“Pasar saham masih volatile, orang akhirnya akan mengalihkan asetnya ke instrumen yang lebih aman. Namun secara keseluruhan, outlook surat utang masih lebih baik dari saham,” kata Suhindarto, Kepada Divisi Riset Ekonomi Pefindo.
Selanjutnya: AAJI: Fluktuasi Pasar Modal Berpotensi Pengaruhi Minat Masyarakat pada Unitlink
Menarik Dibaca: 17 Tips Mengobati Asam Lambung Naik yang Efektif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News