Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Nominal penerbitan sukuk korporasi sepanjang 2016 terbilang rendah ketimbang obligasi konvensional. Merujuk situs Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per 5 Desember 2016, penerbitan sukuk korporasi sepanjang tahun berjalan 2016 mencapai Rp 3,92 triliun. Angka tersebut jauh di bawah emisi obligasi korporasi konvensional yang mencapai Rp 108 triliun.
Desmon Silitonga, Analis PT Capital Asset Management menuturkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya penerbitan sukuk korporasi di dalam negeri. Pertama, jumlah sukuk emiten yang jatuh tempo juga minim. Biasanya, korporasi akan menutupi utang jatuh tempo dengan dana dari instrumen serupa alias refinancing. Minimnya sukuk korporasi yang kedaluwarsa tahun ini memicu penerbitan sukuk emiten yang rendah pula.
Kedua, likuiditas obligasi syariah yang kecil. Investor umumnya lebih menggemari obligasi konvensional karena likuiditasnya tinggi. Ini memudahkan investor dalam memperjualbelikan obligasinya di pasar sekunder setiap saat. Berbeda apabila pelaku pasar mengoleksi sukuk korporasi. Jika mereka tidak menemukan pembeli, terpaksa mereka menggenggamnya hingga jatuh tempo alias hold to maturity.
"Investor memang lebih tertarik dengan obligasi konvensional. Sehingga emiten yang berencana menerbitkan sukuk harus memperhatikan permintaan," terangnya. Jika korporasi menelurkan sukuk tanpa memperhatikan permintaan investor, ada peluang surat utang syariah yang diterbitkan hanya terserap sebagian.
Ketiga, kupon sukuk korporasi biasanya lebih tinggi. Artinya, biaya pendanaan alias cost of fund (CoF) perusahaan dalam penerbitan sukuk bakal lebih mahal ketimbang peluncuran obligasi konvensional.
Analis Fixed Income MNC Securities I Made Adi Saputra berpendapat, sejatinya ada permintaan sukuk korporasi dari pasar. Semisal manajer investasi yang membutuhkan instrumen syariah untuk racikan produk reksadana. Begitu pula dengan perbankan syariah yang ingin mengalokasikan dana di tengah perlambatan laju kredit.
Ia menilai, tantangan berasal dari para emiten pemasok sukuk. Secara struktur pendanaan, mayoritas cashflow korporasi membutuhkan dana dari obligasi konvensional. "Atau kebijakan manajemen memang tidak ingin lewat sukuk. Bagi yang butuh dana cepat, memang lebih banyak ke obligasi konvensional," kata Made.
Maklum, sebelum meluncurkan sukuk, emiten biasanya wajib meminta opini dari dewan syariah. Mereka juga harus mempersiapkan aset dasar beserta jenis akad yang disematkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News