Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan kinerja emiten di sektor konsumer diperkirakan cenderung flat pada tahun ini, meski pemerintah berencana menaikkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik.
Penambahan subsidi BBM dan listrik dilakukan karena harga minyak mentah dunia menyentuh US$ 60 per barel. Pemerintah memutuskan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan tarif listrik tidak akan naik hingga 2019.
Namun, Alfred Nainggolan Kepala Riset PT Koneksi Kapital Sekuritas mengatakan, meski beban masyarakat tidak akan naik karena pemerintah menambah porsi subsidi, namun faktor ini tidak berpengaruh signifikan pada permintaan atau daya beli masyarakat terhadap produk konsumer, khususnya consumer good.
"Subsidi yang diperbesar lebih kepada untuk menjaga daya beli dan pertumbuhan ekonomi, lebih buruknya jika pemerintah tidak menaikkan subsidi, bisa jadi daya beli masyarakat jadi melemah," kata Alfred, Jumat (9/3).
Menurut Alfred, saat ini adalah momentum pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Kenaikan harga komoditas seperti minyak kentah akan berdampak pada naiknya subsidi pemerintah. "Dampaknya ke sektor konsumer untuk mempertahankan daya beli saja," kata Alfred.
Sementara, tahun ini, Alfred melihat sektor konsumer akan lebih terdorong dengan perhelatan Pilkada dan Pemilu pada tahun ini dan tahun depan. "Tahun Pemilu jadi jauh lebih berpengaruh terhadap kontribusi permintaan masyarakat, pertumbuhan sektor konsumer bisa datang dari sentimen ini," kata Alfred.
Senada, William Surya Wijaya, Vice President Research Department Indosurya Bersinar Sekuritas mengatakan bertambahnya subsisi BBM dan listrik bukan jadi salah satu faktor yang bisa mendorong kinerja sektor konsumer. Subsidi BBM dan listrik belum cukup kuat mendorong daya beli, William mengatakan, tahun ini sektor konsumer dapat banyak sentimen positif dari berbagai event yang akan terselenggara hampir serentak di semester II 2018, seperti Pilkada, Pilpres, Asian Games, dan Ramadhan.
"Diperkirakan event tersebut banyak memberi sentimen positif pada sektor konsumen terutama masa kampanye bisa cukup mendorong kinerja sektor konsumer dan mulai terlihat di akhir kuartal II 2018," kata William.
Alfred memproyeksikan pertumbuhan sektor konsumer cenderung flat dan naik tipis pada tahun ini. Jika pemerintah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 5,3% maka sektor konsumer diperkirakan tumbuh 10%. Namun, dengan kondisi saat ini Alfred berpandangan moderat sektor konsumer tumbuh 7%.
Sementara, hasil survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan tingkat keyakinan konsumen turun pada Februari 2018 menjadi 122,5 dibanding Januari 2018 yang sebesar 126,1. Menurut Alfred, survei tersebut menandakan ekspektasi pasar dalam beberapa bulan ke depan akan menurun mengingat ada sentimen yang cukup signifikan mempengaruhi sektor konsumer seperti naiknya harga komoditas dan nilai tukar rupiah.
"Memang sedikit menurun ini cerminan tantangan sektor konsumer cukup berat pada Maret dan April 2018, makanya sektor konsumer bisa tumbuh, namun tipis," papar Alfred.
Alfred menjagokan PT Indofood Sukses Makmur (INDF) di sektor konsumer. Alasannya, valuasi emiten ini baru 13 kali dan termasuk murah bila dibandingkan dengan valuasi emiten konsumer lainnya. "ICBP valuasi masih di atas 20 kali, dan MYOR valuasinya 30 kali," jelasnya.
Meski potensi pertumbuhan INDF tidak besar, tetapi menurut Alfred, ada potensi pertumbuhan valuasi. Ia merekomendasikan buy di target harga Rp 9.240 per saham. Di akhir tahun, ia memproyeksikan pendapatan INDF bisa tumbuh 10%-12%.
Sementara, William menjagokan emiten ICBP, MYOR dan UNVR di sektor konsumer. Menurutnya, ketiga emiten tersebut memiliki produk yang sudah cukup baik diterima masyarakat. Ia merekomendasikan buy saham ICBP di target harga Rp 9.800 per saham dan saham UNVR di target harga Rp 55.000 per saham.
Tantangan sektor konsumer
Alfred mengatakan tantangan bagi sektor konsumer pada tahun ini masih datang dari persaingan dan melemahnya ruang untuk berjualan. Produk consumer good dahulu kinerja didukung dari penjualan produk pada outlet konvensional, tetapi saat ini penjualan di toko fisik melemah. Tak dapat dipungkiri kehadiran situs belanja online turut mengancam.
Agar emiten sektor konsumen bisa terus berjaya, Alfred mengatakan emiten harus menggali bagaimana mengefisienkan biaya produksi dan operasional perusahaan guna mempertebal margin dan laba bersih. Maklum, menurutnya berat apabila emiten hanya mengandalkan pertumbuhan pendapatan.
Sementara, William mengatakan tantangan sektor konsumer juga datang dari pergerakan nilai tukar yang saat ini cenderung melemah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News