Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi menaikkan tarif cukai rokok dan harga jual eceran (HJE) per batang mulai 1 Januari 2020. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 Perubahan Kedua atas PMK Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Beleid ini diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 18 Oktober 2019 dan berlaku mulai 21 Oktober 2019.
Melihat isi beleid tersebut, rata-rata kenaikan tarif cukai secara keseluruhan adalah sebesar 21,55%. Angka ini lebih rendah dari rencana awal yang sebesar 23%. Apabila dirinci per jenisnya, maka tarif cukai untuk sigaret kretek mesin (SKM) rata-rata naik 23,49%, sigaret putih mesin (SPM) rata-rata naik 29,95%, dan sigaret kretek tangan (SKT) rata-rata naik 12,84%.
Kenaikan tarif cukai tertinggi terjadi pada rokok jenis SPM. Tarif cukai SPM golongan II B naik paling tinggi, yakni sebesar 32,39%, dari Rp 355 per batang menjadi Rp 470 per batang. Disusul oleh SPM golongan II A yang naik 31,08%, dari Rp 370 per batang menjadi Rp 485 per batang. Kemudian, SPM golongan I dengan kenaikan 26,40%, dari Rp 625 menjadi Rp 790 per batang.
Selanjutnya, melihat batasan HJE, kenaikannya berkisar antara 12,5% hingga 58,8%. Kenaikan tertinggi terjadi pada SPM golongan II A, yakni sebesar 58,8%, lalu SPM golongan II B sebesar 58,6%, dan SPM golongan I naik 58,4%. Lalu disusul oleh jenis SKM dan SKT.
Baca Juga: Tarif cukai SPM naik paling tinggi hingga 29,95%, ini kata pengusaha rokok
Analis MNC Sekuritas Jessica Sukimaja mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok dan HJE ini dapat menurunkan volume penjualan rokok. Kenaikan tarif cukai dan HJE tertinggi yang dikenakan pada SPM akan memberikan dampak khususnya pada emiten PT HM Sampoerna Tbk (HMSP). "Karena SPM menjadi salah satu produk terlarisnya dari entitas induk, yakni Marlboro dari Philip Morris International Inc," kata Jessica kepada Kontan.co.id, Rabu (23/10).
Sementara itu, Analis RHB Sekuritas Indonesia Michael Wilson Setjoadi dan Marco Antonius dalam riset tanggal 23 Oktober 2019 memprediksi, kenaikan tarif cukai dan HJE ini akan membuat perusahaan rokok menaikkan harga maksimal 15,8%, sedangkan volume penjualan akan turun 10%-15%. Mengingat, cukai berkontribusi cukup besar terhadap harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) rokok, yakni 57%-60%.
Baca Juga: Setelah Menderita Rugi Sejak 2012, Bentoel (RMBA) Akhirnya Mencetak Laba premium
Meskipun begitu, kedua analis ini memprediksi perusahaan rokok akan mendapatkan kenaikan margin yang signifikan pada 2020 apabila implementasi HJE berjalan efisien.
"Mengingat hanya 10% biaya yang tetap, maka setiap peningkatan 5% dalam ASP dengan penurunan volume 5% dapat membuat penghasilan GGRM dan HMSP melonjak 32% dan 17%, ceteris paribus," tulis analis RHB dalam riset, Rabu (23/10).
Menurut RHB, GGRM perlu menaikkkan harga jauh lebih tinggi dibanding HMSP. Pasalnya, perusahaan ini memiliki portofolio produk yang jauh lebih besar yang dijual di dekat floor price, yakni 85% dari HJE yang disarankan. GGRM perlu menaikkan harga 11 dari 19 produknya, sedangkan HMSP hanya perlu menaikkan empat dari 17 produknya.
"Oleh karena kenaikan harga ini, kami melihat kenaikan yang jauh lebih besar dalam pendapatan GGRM meski pangsa pasarnya mungkin runtuh karena penyesuaian harga yang jauh lebih tinggi daripada HMSP," ungkap kedua analis RHB. Sebaliknya, HMSP berpeluang untuk memperoleh pangsa pasarnya yang hilang karena tidak diharuskan untuk menaikkan harga sebanyak GGRM.
Baca Juga: Rokok Putih Naik Paling Tinggi, Ini Tarif Baru Cukai Rokok dan Batasan Harga Jualnya
Selain itu, mereka juga melihat bahwa rokok yang semakin tidak terjangkau berpeluang untuk meningkatkan permintaan rokok ukuran paket 50 batang, serta meningkatkan bisnis dari warung-warung yang menjual rokok per batang, bukan kemasan. Hal ini juga dapat turut mendorong kedua emiten ini. Pasalnya, GGRM baru-baru ini memperkenalkan Surya paket 50 batang dan HMSP juga meluncurkan paket SKM low tar berukuran serupa dengan nama DSS Magnum Mild.
Sebagai informasi, kedua pemain ini memang tergolong cukup unggul dalam jenis SKM. Per Juni 2019, pangsa pasar SKM HMSP mencapai 23% dengan volume penjualan 33,97 miliar batang (setara 72,15% dari total volume penjualan HMSP). Sementara itu, GGRM unggul dengan SKM full flavor yang volume penjualannya mencapai 38,3 miliar batang (setara dengan 82,19% dari total volume penjualan GGRM). Meskipun begitu, kedua analis RHB ini bersikap netral terhadap kedua saham ini dengan target harga HMSP Rp 2.800 dan GGRM Rp 57.700.
Baca Juga: Imbas Kenaikan Harga, Volume Penjualan HMSP Turun 3,2%
Kemudian, Jessica menambahkan, kenaikan tarif cukai yang baru ini akan menaikkan permintaan jenis rokok yang berada pada jenis rokok menengah ke bawah. Sebut saja SKT yang tarif cukainya naik paling rendah. Sebagai informasi, per Juni 2019, HMSP menjual SKT sebanyak 8,45 miliar batang (17,95% dari total volume penjualan) dan GGRM sebanyak 4,2 miliar batang (9% dari total volume penjualan).
Jessica menyarankan investor untuk akumulasi beli HMSP dengan target harga Rp 2.750 per saham dan GGRM dengan target harga Rp 63.000 per saham. Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menambahkan, secara teknikal, saham emiten-emiten rokok, khususnya HMSP dan GGRM masih berpotensi terkoreksi. "Kedua saham ini cukup menarik untuk diperhatikan dan apabila ingin akumulasi HMSP tunggu sampai berada di bawah level Rp 2.000 dan GGRM di bawah level Rp 50.000," ucap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News