Reporter: Rashif Usman | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengambil keputusan untuk menurunkan suku bunga acuan alias BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung pada 20–21 Mei 2025.
Keputusan Bank Sentral ini menjadi sentimen positif bagi pergerakan pasar saham. Pada perdagangan Rabu (21/5), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 47,85 poin atau 0,67% ke 7.142,46.
Research Analyst Henan Putihrai Sekuritas, Irsyady Hanief melihat penurunan suku bunga acuan mampu memberikan katalis positif bagi pasar saham, karena berpotensi meningkatkan likuiditas dan mendorong minat investor terhadap instrumen berisiko seperti saham.
Baca Juga: IHSG Menguat 0,67% ke 7.142 pada Rabu (21/5), INCO, ADMR, AKRA Jadi Top Gainers LQ45
Namun, perlu dicermati bahwa IHSG telah mencatatkan penguatan selama beberapa pekan terakhir. Apabila terjadi koreksi dalam waktu dekat, momentum tersebut dapat dimanfaatkan oleh investor untuk melakukan strategi buy on weakness secara selektif.
"Kami menyarankan para investor untuk tetap disiplin dalam mengelola portofolio, menjaga porsi alokasi investasi sesuai profil risiko, serta menghindari aktivitas over trading," kata Irsyady kepada Kontan, Rabu (21/5).
Selain itu, ia juga mengimbau agar investor tetap menerapkan strategi Dollar Cost Averaging (DCA) untuk mendapatkan harga rata-rata dan meminimalkan risiko fluktuasi pasar.
Irsyady menaksir level IHSG dalam jangka pendek dan menengah akan berada di posisi support 7.050-7.080 dan resistance di rentang 7.250-7.300.
Analis sekaligus VP Marketing, Strategy & Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, menilai bahwa langkah preventif yang diambil Bank Indonesia (BI) berpotensi mendorong penguatan IHSG.
Audi melihat IHSG pada akhir paruh pertama 2025 akan bergerak dalam tiga skenario. Pada level optimis di kisaran 7.225–7.250, moderat di 7.150–7.200, dan pesimis di 6.950–7.000.
Lebih lanjut, Audi menyebut potensi perbaikan kinerja emiten-emiten di sektor strategic cyclical dan peningkatan daya beli masyarakat dapat menarik aliran dana asing ke pasar domestik.
Baca Juga: IHSG Dibuka Naik 0,36% ke 7.119, Top Gainers LQ45: MDKA, ANTM dan KLBF, Rabu (21/5)
Terlebih dengan ekspektasi penurunan suku bunga acuan The Fed (FFR) sebesar 25–50 basis poin hingga akhir 2025, investor asing akan mencari alternatif imbal hasil yang lebih menarik seperti di pasar domestik.
Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menilai bahwa langkah BI menurunkan suku bunga pada dasarnya merupakan kebijakan yang positif, karena secara teori dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, ia menilai langkah BI tersebut masih terlalu hati-hati.
Teguh membandingkan level suku bunga BI saat ini masih berada di level yang tinggi bila dibandingkan dengan suku bunga dari bank sentral Amerika Serikat.
"Kalau sentimennya ingin lebih positif penurunan suku bunga harusnya lebih dalam sebesar 50 bps," ujar Teguh kepada Kontan, Rabu (21/5).
Ia mencatat bahwa tren penurunan suku bunga BI sudah berlangsung sejak September 2024, dari level 6,25% menjadi 6%, dan kembali turun setelahnya pada periode Januari 2025 menjadi 5,75%. Namun dalam enam bulan terakhir, data menunjukkan pertumbuhan ekonomi justru melemah ke bawah 5%.
"Artinya penurunan suku bunga ini belum cukup ampuh untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Mungkin investor juga melihat hal itu," tambah Teguh.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menilai bahwa penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sejatinya merupakan kabar baik yang semestinya disambut positif oleh pasar, khususnya bagi sektor properti, otomotif, dan pembiayaan.
Baca Juga: Sektor Keuangan Jadi Penopang Penguatan IHSG dalam Sepekan Terakhir
Menurutnya, dari sisi makroekonomi, suku bunga rendah saat inflasi juga rendah adalah hal yang baik, tidak hanya dalam jangka pendek, tetapi juga dalam jangka menengah hingga panjang.
Namun, Budi mengkhawatirkan adanya capital outflow karena asing melihat rupiah berada di posisi yang kurang menarik.
"Jika ini terjadi, rupiah akan melemah dan bisa meng-offset efek positif yang terjadi," jelas Budi kepada Kontan, Rabu (21/5).
Irsyady merekomendasikan untuk buy saham SMRA di entry level Rp 430-Rp 450, target harga Rp 476-Rp 480 dan stoploss di Rp 408-Rp 410. Selain itu, ia juga menyarankan buy on weakness saham BBCA di entry level Rp 9.500-Rp 9.600, target harga Rp 9.950-Rp 10.000 dan stop loss di Rp 9.250-Rp 9.275 per saham.
Sementara, Audi menyarankan untuk buy saham BMRI, BBCA, BBRI, CTRA dan ASII di rentang harga masing-masing Rp 5.450, Rp 9.250, Rp 4.150, Rp 1.360 dan Rp 5.100 per saham.
Selanjutnya: Pemerintah Bakal Terbitkan SDG Bond untuk Dukung Program 3 Juta Rumah
Menarik Dibaca: Vale Indonesia (INCO) Tebar Dividen US$ 0,00329 per saham, Ini Timeline Pembagiannya!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News