Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sejumlah emiten properti dengan surat utang dolar Amerika Serikat (AS) bakal melambat di tahun 2024.
Melansir Bloomberg, Senin (15/4), rupiah spot berada di level Rp 15.848 per dolar AS. Hal ini pun membuat kinerja sejumlah emiten properti dengan obligasi dolar AS menjadi terseok-seok.
Berdasarkan penelusuran Kontan, setidaknya ada empat emiten properti yang memiliki surat utang dolar AS yang tercatat dalam laporan keuangan.
Keempat emiten itu adalah PT Modernland Realty Tbk (MDLN), PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).
Baca Juga: Rupiah Tersungkur, Begini Dampaknya ke Emiten Properti yang Punya Utang Dolar
MDLN memiliki beban bunga dalam dolar AS yang setara Rp 24,98 miliar dan beban lain-lain sebesar Rp 5,07 miliar. Utang obligasi dalam dolar AS juga tercatat dalam rupiah sebesar Rp 5,75 triliun per akhir 2023.
ASRI memiliki utang obligasi jangka panjang yang jika dirupiahkan sebesar Rp 3,49 triliun. APLN memiliki senior notes dengan jumlah pokok yang masih terutang sebesar US$ 131,96 juta.
BSDE punya senior notes Global Prime Capital (GPC) VI sebesar US$ 300 juta yang akan jatuh tempo pada tanggal 23 Januari 2025.
CEO Edvisor.id Praska Putrantyo melihat, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS akan memberatkan kinerja emiten-emiten properti. Khususnya, yang memiliki eksposur utang obligasi jangka panjang dalam dolar AS dengan jumlah cukup besar atau lebih dari 50% total utang.
Baca Juga: Rupiah Melemah Terhadap Dolar AS, Begini Tanggapan Emiten Properti
Apalagi, kinerja emiten-emiten properti cukup melambat di tahun 2023 sebagai imbas dari tingginya suku bunga acuan tahun lalu. Saat ini emiten properti juga belum menunjukkan fase pemulihan yang signifikan.
“Jadi, eksposur obligasi dalam dolar AS yang cukup besar itu akan membuat kewajiban pembayaran beban bunga dan pelunasan pokok membebani kinerja keuangan emiten,” ujarnya kepada Kontan, Senin (15/4).
Praska memang belum melihat emiten-emiten tersebut memiliki risiko gagal bayar. Namun, jika dilihat dari eksposur risiko utang, rasio utang MDLN tampak lebih besar dibandingkan dengan emiten lainnya. Debt to Equity Ratio (DER) dari MDLN di atas 2x, lebih tinggi dari rata-rata keempat emiten tersebut.
“Di samping itu, eksposur utang dalam dolar AS yang dimiliki MDLN juga relatif besar,” tuturnya.
Menurut Praska, untuk menghasilkan arus kas dalam jangka panjang, emiten properti harus bisa meningkatkan penjualan dan antisipasi terhadap tantangan industri di era suku bunga tinggi.
“Selain itu, kompetisi terhadap pasar properti di tengah daya beli masyarakat yang saat ini masih sedang mengalami pemulihan,” ungkapnya.
Sementara, efek pelemahan rupiah, selama tidak mendorong kenaikan suku bunga acuan, diperkirakan tidak berdampak signifikan pada sektor properti.
“Terlebih lagi, jika laju inflasi dalam negeri bisa terkendali, maka tentunya pelemahan rupiah akan menjadi terbatas,” paparnya.
Baca Juga: Bukit Sentul Mencatat Lonjakan Pendapatan Sepanjang 2023
Menurut Praska, saham yang menarik untuk diakumulasi saat ini adalah ASRI dan BSDE dengan pertimbangan rasio utang yang masih rendah serta valuasi saham yang masih atraktif.
Praska pun merekomendasikan accumulate untuk ASRI dan BSDE dengan target harga masing-masing Rp 166 - Rp 174 per saham dan Rp 1.040 - Rp 1.085 per saham.
Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat melihat, kinerja para emiten kurang bagus karena mereka harus menutup rugi kurs. Secara industri, kinerja emiten emiten properti juga masih berat di tahun ini.
“Kecuali jika insentif PPN DTP diperpanjang dan dimanfaatkan dengan baik di tahun ini,” ungkapnya kepada Kontan, Senin (15/4).
Meskipun begitu, Teguh belum melihat potensi gagal bayar akan dialami para emiten properti di tahun ini akibat utang dalam dolar AS tersebut. Dengan kondisi saat ini, agar kondisi arus kas para emiten tetap baik, mereka pun bisa melakukan penjualan aset.
Baca Juga: Catat, Ini 221 Saham yang Berada di Papan Pemantauan Khusus BEI
“Bisa juga konversi utang dari dolar ke Rupiah atau bisa buyback obligasi. Lalu, melakukan refinancing dan mengambil utang baru di bank dalam negeri. Tetapi itu juga susah, karena bunga bank saat ini tinggi,” tuturnya.
Kinerja BSDE dilihat paling baik di antara keempat emiten properti tersebut. “Ekuitas BSDE juga masih tinggi, sehingga masih lebih aman dibandingkan tiga emiten lainnya,” paparnya.
Teguh pun merekomendasikan hold untuk BSDE dengan target harga di kisaran Rp 1.000 - Rp 1.100 per saham. “Untuk tiga emiten properti lainnya bisa sell dulu sebaiknya,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News