kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.220   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Pasar obligasi mekar di era Jokowi


Kamis, 19 Oktober 2017 / 09:20 WIB
Pasar obligasi mekar di era Jokowi


Reporter: Danielisa Putriadita, Tane Hadiyantono | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan pasar obligasi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bergerak positif. Peringkat utang Indonesia naik menjadi investment grade pada tahun ini. Dus, kapitalisasi pasar obligasi tumbuh pesat dan yield sentuh rekor terendah sepanjang masa.

Fund Manager Capital Asset Management Desmon Silitonga mengatakan, capaian penting pada pemerintahan Jokowi adalah kenaikan peringkat utang Indonesia ke level layak investasi atau investment grade dari Standard & Poor's (S&P) di tahun ini.Peringkat tersebut bisa diraih karena perbaikan regulasi dan infrastruktur yang berdampak positif pada perekonomian.

Kenaikan peringkat utang membawa dampak positif ke pasar obligasi. Ini terlihat dari yield yang sempat turun hingga menjadi 6,23% untuk tenor 10 tahun pada 25 September 2017. "Ini yield terendah sepanjang sejarah SUN," kata Desmon, Rabu (18/10).

Desmon melihat, peningkatan kapitalisasi pasar obligasi ini terkerek langkah pemerintah yang gencar menerbitkan obligasi guna membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Data Bursa Efek Indonesia (BEI) memperlihatkan, kapitalisasi pasar obligasi atau total outstanding saat masa awal pemerintahan Jokowi di 2014 sebesar Rp 1.435,84 triliun. Per 13 Oktober 2017, jumlahnya naik menjadi Rp 2.406,69 triliun yang terdiri dari obligasi pemerintah Rp 2.046,93 triliun dan obligasi korporasi senilai Rp 359,76 triliun.

Pasar obligasi juga semakin berwarna di pemerintahan Jokowi. Desmon menyebut, kini investor ritel mendapat tambahan pilihan instrumen investasi seperti sukuk tabungan, surat berharga negara (SBN) valas domestik dan denominasi euro.

Direktur Utama Schroder Indonesia Michael Tjandra Tjoajadi melihat pertumbuhan surat utang pada era kepemimpinan Jokowi merupakan hal yang normal. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menanjak sehingga pemerintah bisa mengeluarkan lebih banyak obligasi. "Saya kira ekonomi kita masih membutuhkan dana utang," kata Michael. Pertumbuhan surat utang tersebut mencerminkan produktivitas pemerintah yang kini getol membangun infrastruktur.

Menurut Michael, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih bagus. Sebagai pembanding, Rasio utang terhadap PDB AS lebih dari 100% dan Jepang 250%. Sedangkan rasio utang terhadap PDB Indonesia pada Agustus 2017 sebesar 28% dan target pemerintah 28,9% di akhir tahun.

Imbal hasil tinggi

Minat investor baik asing maupun lokal terhadap surat utang negara (SUN) terus tumbuh. Per 13 Oktober 2017, kepemilikan asing di obligasi pemerintah mencapai Rp 807 triliun atau 39,10% dari total SBN yang dapat diperdagangkan.

Wajar saja, investor tertarik dengan imbal hasil obligasi Indonesia yang cukup tinggi. Desmon Silitonga mengatakan tren imbal hasil di masa pemerintahan Jokowi naik signifikan. "Pekan kemarin total return SUN hampir 13%-14% year to date, jadi memang masih cukup oke dibanding dengan equity yang di level 11%," kata Desmon. Jika dibandingkan, imbal hasil dua hingga tiga tahun sebelumnya tidak sampai dua digit.

Kendati begitu, pada tahun 2018/2019, Desmon memproyeksikan ada kemungkinan pembalikan arah di mana asing keluar dari surat utang Indonesia. Faktor yang mempengaruhi dari dalam negeri adalah sentimen politik jelang Pemilu 2019. Dari luar negeri, tahun depan ada kemungkinan Presiden Amerika Serikat Donald Trump akan memangkas pajak yang diikuti dengan kenaikan suku bunga. Selain itu, ada penghentian quantitavie easing (QE) dari bank sentral Eropa.

"Di satu sisi pemerintah sudah ada protokol mitigasi seperti melakukan buyback di pasar," kata Desmon. Jika langkah buybackbelum cukup, pemerintah bisa meminta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan pembelian atau Bank Indonesia untuk intervensi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×