Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pasar modal sudah siap menyambut financial technology fintech. Direktur Operasional dan Sarana Sistem Informasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fithri Hadi menilai bahwa selama ini, dibandingkan dengan tiga sektor keuangan lainnya pasar modal adalah yang paling siap menerapkan fintech.
Menurut Fithri, hal ini dikarenakan pasar modal sudah terbiasa bersaing secara digital ketimbang sektor Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) dan perbankan.
"Kita lihat cross border trading sudah dari dulu, online trading juga dari dulu. Tinggal sekarang ekstensinya bertambah, misalnya model fund supermarket, model-model baru yang padu padan dengan layanan lain," katanya di Gedung BEI, (12/10).
Menurut Fithri, adanya fintech dapat membuat pasar modal tidak lagi eksklusif sehingga nantinya membuka kenaikan volume transaksi.
"Memang tidak ditargetkan akan naik berapa, tetapi dengan automasi, akses anggota bursa kepada calon investor lebih luas. Harapannya orang lebih banyak yang investasi sehingga volumenya akan naik," ujarnya.
Menurut dia, ke depannya, dunia pasar modal akan mengulang kembali masa-masa awal remote trading diperkenalkan ke pasar pada 1999 hingga 2002. "Dari situ, terlihat trennya naik," katanya.
Sebagai catatan, pada 2002, yaitu saat awal remote trading diluncurkan, perusahaan efek yang menggunakan remote trading awalnya hanya 20% sementara 80% tidak melakukan perubahan.
Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi saat ini di mana 20% perusahaan efek belum menggunakan sistem S21 Koscon Hub yang merupakan sistem trading terbaru di pasar modal yang ditujukan untuk perusahaan efek.
Ia menambahkan, pasar modal harus mulai memikirkan calon investor dari kelas menengah ke bawah dan calon investor dari generasi Y yang serba praktis. Dengan demikian, layanan pasar modal sepatutnya mudah diakses.
"Ada potensi yang selama ini terhalang oleh akses nantinya akan bisa diakses oleh konsumen langsung. Nanti tidak usah ke kantor dan segala macam, apalagi ini targetnya adalah Gen Y," jelasnya.
Meski demikian, ia mengatakan bahwa perusahaan efek tidak wajib menerapkan sistem trading yang baru dalam layanannya. Namun, Fithri mengingatkan, perilaku konsumen saat ini sudah berbeda sehingga harus mengikuti
"Mereka harus relevan dengan rutinitas konsumen. Kalau tidak, siap-siap income-nya tergerus," ujarnya.
OJK sendiri sedang menyiapkan sejumlah aturan untuk mengatur dan mengawasi perkembangan jenis usaha sektor jasa keuangan yang menggunakan kemajuan teknologi atau disebut financial technology (Fintech).
Fithri mengatakan, Desember 2016 ini OJK akan menerbitkan Sandbox Regulatory untuk Fintech. Peraturan ini mengatur hal-hal mendasar agar tumbuh kembang Fintech memiliki landasan hukum untuk menarik investasi, efisiensi, melindungi kepentingan konsumen dan tumbuh berkelanjutan.
"Plaform IT ini penting untuk diregulasi karena aset-aset akan menjadi digital sehingga internet harus aman. Yang kedua, tetap ada aspek perlindungan konsumen. Jangan sampai konsumen jadi korban. Ketiga, manajemen risiko yang maksimal," jelasnya.
Secara keseluruhan, regulasi tersebut nantinya sifatnya sangat minim aturan. Artinya, tidak menghambat inovasi yang mungkin akan terjadi. "Jangan sampai sudah dibebani dengan regulasi, inovasinya terhambat. Jangan lupa setiap ada regulasi implikasinya selalu ke biaya," kata Fithri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News