kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pasang Sabuk Pengaman, Guncangan Masih Kencang


Jumat, 28 September 2012 / 16:23 WIB
Pasang Sabuk Pengaman, Guncangan Masih Kencang
ILUSTRASI.


Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander

Penurunan harga nikel menyebabkan kinerja emiten berbasis komoditas tersebut melorot ditengah tahun 2012. Meski belakangan harga nikel kembali merangkak naik, para analis memberikan abaaba waspada. Masih adakah peluang?

Tahun 2012 bisa dibilang menjadi masa paceklik bagi para emiten komoditas, termasuk nikel. Sepanjang tahun ini, harga nikel sempat anjlok ke US$ 15.250 per ton (2/8), mendekati posisi tiga tahun lalu di US$ 15.575 (14 Juli 2009).

Memang, belakangan harga nikel berangsur pulih. Per Kamis (20/8) lalu, harga nikel di London Metal Exchange (LME) merambat ke US$ 17.755.

Namun, kondisi tersebut masih berjarak lebar dari rekor harga tertinggi pada 4 Mei 2007 silam di US$ 51.600 per ton. Analis Panin Sekuritas Fajar Indra memprediksi, sepanjang 2012, harga rata-rata nikel berada di US$ 17.000 per ton. Salah
satu sentimen positif pendongkrak harga nikel adalah stimulus bagi industri melalui Quantitative Easing (QE) jilid 3.

Tapi, program QE3 hanya bersifat euforia jangka pendek. Perlambatan ekonomi China, Eropa dan Amerika Serikat (AS) sebagai negara manufaktur belum memulihkan permintaan riil sehingga harga komoditasnya terus berfl uktuasi.

Analis Ciptadana Securities Wilim Hadiwijaya memperkirakan, dalam jangka waktu hingga 5 tahun mendatang, harga ratarata
nikel masih akan berkisar US$ 20.500 per ton. Fluktusasi harga terutama terjadi karena gonjang ganjing QE3 serta pelemahan ekonomi China.

Data HSBC Flash Manufacture PMI China per Agustus lalu tercatat naik 0,3 poin menjadi 47,8 dari bulan sebelumnya. Meski naik, angkanya masih dibawah 50 dan menunjukkan sektor manufaktur China masih berkontraksi. Situasi ini telah berlangsung selama 11 bulan.

Sekarang mari kita longok prospek dua emiten yang mengandalkan pendapatannya dari produk tambang itu.

ANTM

Merosotnya harga nikel menjadi mimpi buruk bagi PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Bayangkan, di semester I–2011, penjualan nikel senilai Rp 3,16 triliun menyumbang 64,74% dari total pendapatan mereka yang mencapai Rp 4,89 triliun. Namun, hingga pertengahan tahun ini, kontribusinya cuma Rp 2,38 triliun atau 52,91% dari total pendapatan Antam.

Hingga akhir 2012, Fajar memprediksi, kinerja Antam masih akan terseok karena tekanan harga nikel. “Di semester kedua harga sedikit membaik, tapi sangat fl uktuatif,” ujarnya.

Hingga akhir tahun, Antam tampaknya bakal menggantungkan kinerjanya pada penjualan emas. Direktur Utama Antam Alwinsyah Lubis bilang, harga jual rata-rata emas di paro pertama 2012 naik 16% menjadi US$ 1.707 per ons troi dibanding periode yang sama 2011. Antam pun terus menggenjot volume produksi emas untuk menahan penurunan harga nikel.

Hingga akhir tahun ini, Antam memasang target volume produksi emas mencapai 3.100 kg atau naik 16,2% dari 2.667 kg di 2011. Hingga Juni lalu, produksi Antam baru mencapai 41% dari targetnya.

Beban lain yang harus dipikul Antam adalah peraturan larangan ekspor bahan mentah mineral mulai 2014. Antam gencar membangun sejumlah pabrik pengolahan produk nikelnya. Di antaranya, proyek Feni Halmahera yang menelan biaya US$ 1,6 miliar yang berfungsi memurnikan biji nikel menjadi feronikel. Hingga Juni kemarin, proses pembangunan pabrik di Provinsi Maluku Utara ini baru mencapai 25%.

Antam pun masih sibuk menggelar tender untuk menggandeng investor dari Denmark, Finlandia, Jerman, Austria, Korea Selatan, dan Jepang. Proyek lain adalah smelter grade alumina (SGA) yang diprediksi menghabiskan dana hingga US$ 1 miliar. Pabrik yang rencananya selesai 2016 itu masih dalam tahap studi kelayakan.

“Saat kinerja melorot akibat jatuhnya harga nikel, mereka justru butuh dana besar. Ini jadi sentimen negatif,” tandas Fajar. Fajar memprediksi, Antam akan menerbitkan lagi obligasi atau mencari utang. Untungnya saat ini rasio utang terhadap modal (DER) Antam masih dibawah 1 kali. Sehingga terbuka ruang untuk menggaet utang. Sekadar catatan, akhir 2011
lalu, Antam telah menerbitkan obligasi senilai Rp 3 triliun. Sebagian besar dananya mengalir ke pengembangan pabrik Feronikel di Pomalaa yang menelan total dana US$ 500 juta.

Analis Danareksa Sekuritas Ananita Mieke menyarankan hold saham ANTM dengan target harga Rp 1.400 hingga 12 mendatang. Adapun, konsensus analis yang disurvei Bloomberg, harga saham Antam adalah Rp 1.450 per saham. Sebanyak 12 analis menyarankan tahan, 5 beli, dan 2 menyarankan jual.

Dalam risetnya, Ananita memangkas prediksi harga ratarata nikel 2012 menjadi US 18.000 dari sebelumnya US$ 19.000 per ton. Selain itu, dia menilai, Antam lambat menggunakan dana obligasi untuk pembangunan pabriknya.

Akhir tahun lalu, harga saham ANTM di level Rp 1.620. Sepanjang tahun ini, harganya sempat terjerembab ke Rp 1.150 (31/5). Hingga Jumat pekan lalu (21/9), harganya telah beranjak ke level Rp 1.390 per saham.

INCO

Berbeda dengan Antam, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) masih lebih beruntung. Produk komoditasnya, bijih nikel sudah merupakan produk olahan. “Artinya, posisi pendanaan mereka relatif lebih aman,” ujar Wilim. Namun memang, harga nikel
yang melorot menyebabkan kinerja Inco menjadi kurang elok. Tengok saja laba bersihnya yang anjlok sedalam 97,68% menjadi US$ 5,52 juta.

Hingga akhir 2012, Wilim memprediksi, laba bersih Vale Indonesia US$ 172 juta atau turun 48,35% dari tahun sebelumnya
US$ 333 juta. ROE emiten ini pun diperkirakan turun menjadi 9,5% dari tahun sebelumnya setinggi 18,9%.

Wilim memperkirakan, produksi nikel INCO tahun ini menjadi 70.186 ton, meningkat dari tahun sebelumnya 66.900 ton. Meski hingga pertengahan 2012 pencapaian target produksi baru 41,3%, Wilim optimistis di semester kedua INCO bisa mengejar target produksinya. Dia merekomendasikan tahan dengan target harga saham INCO Rp 2.800 hingga 12 bulan mendatang.

Sementara itu, analis Samuel Sekuritas Indonesia Yualdo T. Yudoprawiro memandang, kenaikan volume dan penurunan biaya produksi dari proyek coal conversion INCO belum mampu mengompensasi penurunan harga nikel.

Coal conversion Vale Indonesia sendiri baru akan beroperasi mulai kuartal I–2013. Program senilai US$ 70 juta tersebut akan mengalihkan penggunaan bahan bakar INCO ke batubara. “Cost yang bisa dihemat hingga US$ 85 juta,” terang Yualdo dalam risetnya. Sama halnya Wilim, Yualdo merekomendasikan tahan saham INCO dengan target harga Rp 2.275 hingga 12 bulan ke depan.  Jumat (21/9)m harga saham INCO di Rp 3.050 per saham.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 51 XVI 2012 Saham

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×