Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Herlina Kartika Dewi
Hal itu ia ungkapkan pada diskusi InfobankTalkNews Media Discussion dengan tema ‘Outlook Pasar Modal 2022: Momentum Pemulihan Ekonomi dan Imbas Tapering The Fed’ Jumat, 29 Oktober 2021.
"Di tahun 2021 sampai September, sudah ada 38 perusahaan baru yang tercatat di BEI. Di pipeline masih ada sekitar 21 - 27. Kita berharap sampai akhir tahun bisa tembus diatas 50 dan melebihi pencapaian kita di 2020," ucapnya.
BEI mencatat jumlah dana yang dihimpun lewat pasar modal di 2021 juga melonjak cukup tajam jika dibandingkan 2020. Jika tahun lalu dana yang dihimpun mencapai Rp 5 triliun, saat ini dana yang terkumpul dari penawaran saham perdana sudah menembus lebih dari Rp 30 triliun. Hal ini tidak lepas dari aksi korporasi perusahaan besar seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan IPO perusahaan teknologi seperti Bukalapak.
Lebih jauh, ketertarikan korporasi memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pembiayaan juga tidak lepas dari jumlah investor yang terus bertambah. BEI mencatat hingga September 2021, jumlah investor di pasar modal Indonesia sudah bertambah sebanyak 6,4 juta. Angka ini meningkat 65,74% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Baca Juga: Meski Sumber Dana Belum Jelas, Evergrande Disebut Telah Lunasi Kupon Tertunggak
Semakin besarnya pasar modal Indonesia diharapkan dapat berdampak baik pada perekonomian. Sehingga pemulihan ekonomi bisa berjalan lebih cepat dan efektif.
Direktur Equtor Swarna Investama Hans Kwee menambahkan, dampak tapering mungkin tidak akan terlalu besar menggangu pasar saham di negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya The Fed sudah sangat transparan, kebijakan ini sudah diantisipasi pelaku pasar dan pembuat kebijakan cukup lama, kondisi ekonomi makro Indonesia lebih baik ketimbang tahun 2013 silam.
“Lalu, mata uang negara berkembang termasuk Indonesia saat ini pada posisi undervalued, dominasi kepemilikan asing di instrument keuangan Indonesia relative lebih kecil dan bantalan yang lebar (yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun),” kata Hans Kwee.
Namun, lanjut Hans Kwee, yang justru seharusnya diperhatikan adalah peluang The Fed menaikkan suku bunga jauh lebih cepat daripada negara-negara maju yang lain. Karena, sembilan dari 18 pejabat The Fed siap untuk menaikkan suku bunga tahun depan sebagai respons atas kenaikan inflasi yang diperkirakan mencapai 4,2% pada tahun ini, lebih dari dua kali lipat dari target yang ditetapkan 2%.
“Bila terjadi kenaikan suku bunga di tahun 2022 diperkirakan akan memberikan dampak yang lebih besar dan lama terhadap pasar keuangan negara berkembang,” pungkasnya.
Selanjutnya: IPO dengan nilai jumbo, begini prospek FAPA, ARCI, BUKA, dan CMNT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News