Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) akan mempercepat pembayaran utangnya senilai US$ 220 juta. Selain mencari pinjaman baru dari perbankan asing dan lokal, VIVA juga sudah mendapat restu dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), Jumat (30/9) untuk menjual maksimal 15% saham anak usahanya PT Intermedia Capital Tbk (MDIA).
Anindya Bakrie, Direktur Utama VIVA mengatakan, jika melihat rencana pelunasan yang dipercepat itu, saham MDIA yang akan dilepas hanya akan sekitar 7,15% saham. Nilai redemption premium diprediksi mencapai US$ 70,7 juta atau setara dengan Rp 939 miliar dengan mengacu harga rerata saham MDIA sebesar Rp 3.350 per saham.
"Namun, jika melihat nilai kapitalisasi pasar, harga divestasi maksimum atau 15% saham MDIA bisa sekitar Rp 1,75 triliun," ujar Anindya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Ia mengatakan, saat ini sudah ada beberapa investor yang berminat untuk membeli saham MDIA. "Sudah ada yang berminat baik dari investor lokal atau asing. Tetapi akan kami lihat lagi soal kebutuhannya, karena tidak harus dilepas semua," ujarnya.
Berdasarkan perjanjian kredit (credit agreement) yang telah disepakati, VIVA akan mendapatkan pinjaman dari anak usahanya terlebih dahulu, yakni PT Cakrawala Andalas Televisi (CAT) dan PT Lativi Media Karya (LM) dengan total maksimum pinjaman sebesar Rp 2,5 triliun. Dari divestasi saham MDIA itu, perseroan akan melunasi kewajiban dari Credit Suisse senilai US$ 61,02 juta atau setara dengan Rp 810,14 miliar.
Setelah pelunasan sebagian utang ini, VIVA akan kembali memperoleh pinjaman baru dari Credit Suisse maksimal sebesar US$ 65 juta. Rencananya, sebesar US$ 50 juta dari pinjaman baru ini juga akan digunakan untuk percepatan pembayaran utang lama perseroan kepada Credit Suisse.
Dengan transaksi itu, utang perseroan kepada Credit Suisse akan lunas dan sebagian utang lainnya yang tidak dapat direfinancing dengan pinjaman baru dari Credit Suisse akan beralih menjadi utang perseroan kepada CAT dan LM masing-masing sebesar Rp 1,04 triliun dan Rp 491,2 miliar.
Menurut Anindya, dengan seluruh transaksi ini, perseroan bisa mengurangi kewajiban utang dalam valuta asing, dan mengurangi resiko atas terjadinya fluktuasi penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dollar AS.
Selain itu, biaya hedging perseroan dapat berkurang, dan mengurangi beban keuangan perseroan yang timbul dari tingginya beban bunga utang dan redemption premium berdasarkan perjanjian kredit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News