Reporter: Agung Jatmiko | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. April 2017 lalu Felda (The Federal Land Development Authority) melalui anak usahanya, FIC Properties Sdn Bhd (FICP) melakukan aksi akuisisi 37% saham PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT).
Sebelumnya, Kontan.co.id Kamis (3/5) menuliskan bahwa BWPT merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh Peter Sondakh, kolega bisnis Perdana Menteri Najib Razak.
Akuisisi saham BWPT oleh perusahaan milik Malaysia itu tercatat sebagai investasi langsung terbesar ketiga di Indonesia pada tahun lalu. Nilai akuisisi itu mencapai US$ 505,4 juta atau setara Rp 6,7 triliun.
Itu tahun lalu, saat Malaysia dipimpin oleh Najib Razak. Nah, bagaimana dengan saat ini, apakah kekalahan Najib Razak dalam pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung hari Rabu (9/5) akan mempengaruhi masa depan Felda dalam BWPT?
Kepala Riset Narada Kapital Kiswoyo Adi Joe mengungkapkan bahwa dirinya tidak percaya apabila gara-gara hasil pemilu lantas FELDA langsung menarik diri.
"Terkait isu politik dalam negeri Malaysia tidak bisa mencampuri. Namun, kalau soal bisnis saya rasa Felda tidak akan melepas BWPT," tutur Kiswoyo.
Kalaupun Felda hendak melepas kepemilikannya di BWPT lewat market, tentu harganya tidak akan bisa tinggi dan hal ini pastinya akan membawa kerugian bagi Felda.
Jika dijual di harga sekarang, di level Rp 174 per saham tentu akan rugi besar, mengingat waktu akuisisi harga saham BWPT berada di level Rp 580 per saham.
Jika melihat secara fundamental, Kiswoyo pun tetap berpendapat Felda tidak akan melepas kepemilikannya di BWPT, lantaran perusahaan ini dipandang bagus karena usia pohon sawit BWPT masih terbilang muda dan walau masih merugi namun kerugiannya sudah lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya. "Tahun ini diprediksi bisa laba, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan," kata Kiswoyo.
Terkait dengan koneksi antara Peter Sondakh dengan Najib Razak, Kiswoyo menyebutkan saat ini tidak begitu relevan, karena Felda sudah memiliki 37% BWPT dan ia merasa FELDA tidak akan begitu saja melepas BWPT.
Masalahnya, analisis Kiswoyo bertentangan dengan pemberitaan yang beredar sejak lama. International Palm Oil Monitor (IPOM) mengungkapkan adanya kejanggalan dalam proses akuisisi 37% saham ini.
Kejanggalan tersebut mencakup antara lain masalah arus kas, harga akuisisi yang meningkat, ketidakpatuhan terhadap undang-undang dan peraturan, pinjaman yang berlebihan dan jumlah berlebihan karena pembayaran kembali ke bank dan penggelapan pajak.
Mengutip pemberitaan dari The Malaysian Insight tanggal 20 Februari lalu, yang telah diupdate bulan April 2018, laporan IPON menjelaskan kenaikan suku bunga bebas antar perusahaan sebesar US$ 26 juta yang merupakan pembayaran yang tidak kunjung diterima oleh BWPT.
Felda, melalui FIC Properties Sdn Bhd, mengakuisisi 37% saham Eagle High sekitar US $ 500 juta, membayar sekitar Rp 580 per saham, dengan premi sangat tinggi sebesar 95% hingga harga penutupan sahamnya pada titik akuisisi.
IPOM mengatakan kesepakatan itu diserang oleh para kritikus dan para ahli karena kesepakatan tersebut terlalu mahal dan juga karena keadaan dalam BWPT. Namun, kesepakatan itu selesai.
The Malaysian Insight mengemukakan dana pemerintah digunakan untuk membiayai kesepakatan yang banyak dilihat sebagai bailout untuk Peter Sondakh, seorang pengusaha Indonesia dengan ikatan politik yang kuat di Malaysia.
Hampir setahun setelah proses akuisisi tersebut, saham BWPT turun sampai Rp 204 per saham, kurang dari setengah yang dibayarkan Felda. Artinya, Felda mengalami kerugian sebesar US$ 300 juta. Selain itu, kapitalisasi pasar BWPT bernilai hanya US$ 155,4 juta, kurang dari sepertiga dari jumlah yang dibayarkan Felda.
Di masa depan pun IPOM menyatakan BWPT tidak memiliki proyeksi yang menarik, lantaran tidak memiliki sertifikasi RSPO dan ISPO, yang membuat produk kelapa sawit dari BWPT akan kesulitan mencari pasar.
Uni Eropa sendiri memastikan minyak sawit yang diimpor ke Uni Eropa harus berasal dari sumber yang berkelanjutan dan hanya mengimpor minyak sawit berkelanjutan setelah 2020. Ini jelas bukan pertanda baik untuk BWPT dan kecil kemungkinan pendapatan BWPT akan meningkat.
Bagaimana dengan nasib Najib Razak, sang mantan Perdana Menteri yang disebut-sebut kolega dekat Peter Sondakh? Menurut pemberitaan terkini, Najib saat ini kembali dicekal untuk bepergian ke luar negeri alias masuk daftar blacklist.
Mengutip Malaysia Kini, Sabtu (12/5), Najib dan istrinya, Rosmah mendapat status blacklist pada hari Sabtu saat keduanya hendak bertolak dari bandara Sultan Abdul Aziz Shah menuju Halim Perdanakusuma, Indonesia.
Penerbangan keduanya dijadwalkan berangkat pukul 10.00 waktu setempat, namun karena tidak memperoleh izin dari imigrasi Malaysia, maka perjalanan keduanya batal.
Yang menarik, Najib dan istrinya akan bertolak dari Malaysia ke Indonesia menggunakan maskapai Premiair, yang merupakan maskapai jet pribadi (private jet) milik Peter Sondakh.
Taipan asal Indonesia ini disebut-sebut terlibat dalam penjualan kontroversial dari 37 persen saham di BWPT ke FELDA seharga US$ 505,4 juta tahun lalu.
Rencana penerbangan yang bocor itu telah menyebabkan spekulasi bahwa Najib dan Rosmah "melarikan diri" dari Malaysia. Tetapi sumber yang dekat dengan mantan perdana menteri mengklaim bahwa mereka hanya akan melakukan "istirahat dua hari".
Najib sendiri sedang menghadapi tuduhan penggelapan uang miliaran ringgit dalam simpanan di rekening bank pribadinya, yang berasal dari dana negara 1MDB, menurut investigasi internasional.
Mantan perdana menteri itu mengklaim uang itu adalah "sumbangan" dari seorang anggota keluarga kerajaan Arab Saudi. Dia membantah melakukan kesalahan atau mengambil dana publik untuk keuntungan pribadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News