Reporter: Namira Daufina | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Setelah turun lima hari berturut-turut, harga minyak berhasil bangkit (rebound). Namun, penguatan harga belum didukung faktor fundamental yang kuat.
Data Bloomberg, Rabu (20/5) pukul 14.15 WIB menunjukkan harga minyak WTI kontrak pengiriman Juli 2015 di New York Merchantile Exchange tercatat naik 1% ke US$ 58,57 per barel dibandingkan hari sebelumnya. Namun sepekan terakhir, harga minyak sudah tergerus 4,74%.
Deddy Yusuf Siregar, Research and Analyst PT Fortis Asia Futures, menjelaskan, kenaikan harga minyak didorong krisis yang masih terjadi di Timur Tengah. Sementara sentimen positif berasal dari prediksi stok minyak Amerika Serikat (AS) yang kembali menipis. Kemarin, Energy Information Administration (EIA) merilis data posisi stok minyak AS pekan lalu.
Prediksi Deddy, stok minyak pekan ini turun sebesar 1,3 juta barel per hari. Dua pekan lalu, stok minyak AS juga merosot 2,2 juta barel per hari yang menjadi penurunan pertama di tahun 2015.
Per Jumat (8/5), stok minyak AS diprediksikan merosot ke 484,4 juta barel. Ini terlihat dari stok minyak di pusat pengiriman minyak terbesar AS, Cushing, Oklahoma, yang turun 217.000 barel.
Namun Deddy menilai, penguatan harga masih rentan. Walaupun stok AS berkurang, namun penurunannya tak sebesar pekan sebelumnya. "Rilis data ekonomi AS positif membuat USD kembali rebound," kata Deddy. Pasar juga menanti hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Kamis (21/5). Deddy menilai tren bearish masih membayangi minyak.
Putu Agus Pransuamitra, Research and Analyst Monex Investindo Futures juga sepakan, tekanan pada harga minyak masih besar. "Stok minyak global masih terlampau tinggi," kata Putu.
Menurutnya, meski AS terus memangkas jumlah rig pengeboran yang aktif hingga 58% sejak Desember 2014, produksi masih tinggi. Sampai Jumat (8/5), AS memompa 9,37 juta barel per hari. Sedangkan rata-rata produksi mencapai 9,42 juta barel per hari atau di level tertinggi sejak Januari 1983.
Goldman Sachs Group Inc juga khawatir dengan banjir stok minyak. Ini bisa menyeret turun harga minyak ke posisi US$ 45 per barel pada Oktober 2015.
Deddy melihat, kembalinya harga minyak ke level di atas US$ 60 per barel beberapa waktu lalu merupakan level balik modal bagi biaya produksi. Namun, "Itu level prematur dan harga akan kembali tenggelam karena faktor fundamental," tambahnya.
Secara teknikal, Putu menjelaskan harga bergerak di antara moving average (MA) 200 dan 50. Ini menunjukkan pergerakan stagnan.
Garis moving average convergence divergence (MACD) di level 1,8 mengarah turun. Indikator stochastic level 25 dan relative strength index (RSI) di level 37 mengarah ke bawah. "Harga Kamis (21/5) di kisaran US$ 55,20-US$ 61,00 per barel," kata Putu.
Sepekan ke depan, prediksi Putu, harga minyak bergerak di rentang US$ 54,30-US$ 62,50 per barel. Prediksi Deddy, laju harganya di US$ 54,26-US$ 60,00 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News