Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Manajer investasi berburu efek-efek saham yang berpotensi mengais cuan dari penurunan suku bunga dalam negeri.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21 September 2016 - 22 September 2016 memangkas suku bunga BI 7 day reverse repo rate (RRR) sebesar 25 bps dari semula 5,25% menjadi 5%. Suku bunga deposit facility juga menyusut sebesar 25 bps ke level 4,25%. Begitu pula dengan suku bunga lending facility yang mengecil 25 bps menjadi 5,75%.
Pelonggaran kebijakan moneter tersebut sejalan dengan stabilitas makroekonomi Indonesia. Tercermin pada rendahnya inflasi dalam negeri, terkendalinya defisit transaksi berjalan, serta stabilitas nilai tukar rupiah.
Investment Director PT Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul Wawointana menuturkan, perusahaan cenderung mengendapkan dana pada efek saham yang sensitif dengan suku bunga, semisal sektor keuangan dan konsumer. Sebab, penurunan suku bunga berpeluang mengerek daya beli masyarakat serta penyaluran kredit perbankan maupun perusahaan pembiayaan (multifinance).
Jemmy berujar, perusahaan menjaga porsi efek saham sekitar 90% bagi produk reksadana sahamnya. Ia memprediksi, sepanjang tahun 2016, rata-rata return reksadana saham bakal mencapai 25%. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan berkisar 5.600 - 5.800 pada pengujung tahun 2016.
Amunisi bersumber dari realisasi kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang sesuai ekspektasi. Dana deklarasi maupun repatriasi mulai membengkak jelang akhir periode I tax amnesty yakni September 2016.
"Yang harus dilihat adalah harga komoditas seperti CPO dan batubara supaya tidak turun lagi karena sangat memengaruhi perekonomian Indonesia," terangnya.
Serupa, Hanif Mantiq, Head of Investment Division PT BNI Asset Management (BNI-AM) mengungkapkan, perusahaan secara perlahan telah mengalihkan dana pada sektor-sektor saham yang sangat sensitif terhadap pemangkasan suku bunga BI. Ada tiga sektor yang dikoleksi, yakni perbankan, otomotif, serta properti.
Kombinasi antara bunga yang semakin murah, membaiknya perekonomian, relaksasi loan to value (LTV), serta daya beli masyarakat akan menumbuhkan minat investor untuk mengambil kredit konsumer.
"Sebelumnya kami mengambil sektor konsumer yang cenderung defensif seperti rokok dan Indofood. Namun sekarang kami cenderung pilih yang consumer discretionary. Juga ada sektor media," tuturnya.
Sebaliknya, lanjut Hanif, perusahaan cenderung menghindari sektor energi dan gas. Meskipun harga batubara dan minyak telah pulih, melambatnya permintaan global masih membayangi pasar komoditas untuk jangka panjang. Kenaikan harga komoditas akhir-akhir ini juga cenderung dipicu oleh pemangkasan produksi dan suplai. BNI-AM menjaga porsi saham dalam racikan produk reksadana saham hingga 95%.
Hanif memperkirakan, pada tahun 2016, IHSG akan ditutup di level 5.450 dan terus melaju ke posisi 6.000 pada tahun 2017. Katalis positif masih berasal dari harapan membaiknya realisasi tax amnesty.
Memang masih ada rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atawa The Fed yang saat ini berkisar 0,25% - 0,5%. "Tapi sekarang sudah lebih terukur. Seperti akhir tahun 2015, koreksi sesaat saja karena The Fed hanya menaikkan 25 bps," ujarnya.
Direktur Riset Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo memaparkan, perusahaan menjaga efek saham hingga 96% - 98% untuk racikan produk reksadana sahamnya.
Perusahaan fokus mengakumulasi sektor saham yang berorientasi domestik. "Seperti konsumer, infrastruktur, telekomunikasi, bank, dan beberapa perusahaan properti," katanya.
Sektor infrastruktur disinyalir berprospek cerah seiring gencarnya program pembangunan infrastruktur pemerintah Indonesia. Mulai dari pembangunan bandara, jalan, tol, hingga pelabuhan. Soni meramal, pada akhir tahun 2016, IHSG akan menuju 5.750.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News