Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Efek Beragun Aset (EBA) memiliki potensi yang cukup besar dari sisi investasi, walau belum banyak investor yang menggandrungi instrumen tersebut.
Sebagai pengingat, belum lama ini beberapa perusahaan mengumumkan rencana penerbitan EBA. Salah satunya adalah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) yang hendak merilis EBA pada kuartal I 2019 dengan nilai sekitar Rp 2 triliun.
Berdasarkan berita Kontan.co.id sebelumnya, skema EBA BTN kali ini berwujud sekuritisasi kredit pemilikan rumah (KPR) sintetik. Alternatif pendanaan ini menjaminkan arus kas di masa depan.
Selain itu, PT Bank Bukopin Tbk juga berencana menerbitkan EBA dengan nilai di kisaran Rp 1 triliun sampai Rp 2 triliun. Aset yang bakal diagunkan oleh perusahaan ini adalah tagihan berkualitas seperti KPR dan kredit konsumer dengan kualitas tinggi.
Head of Research & Consulting Infovesta Utama Edbert Suryajaya menilai, EBA memiliki beberapa karakteristik yang mirip dengan obligasi. Misalnya, instrumen ini sama-sama diperingkat oleh lembaga pemeringkat serta menawarkan indikasi besaran kupon dan tenor beserta waktu jatuh temponya.
Artinya, ketika berinvestasi EBA, investor berpeluang memperoleh imbal hasil yang bersaing dengan obligasi. Ambil contoh, jika investor membeli EBA dengan tenor 5 tahun, maka potensi return yang diperoleh bisa dibandingkan dengan surat utang negara (SUN) bertenor serupa.
Sebagai gambaran, SUN seri acuan 5 tahun atau FR0077 hari ini (26/2) berada di level 7,52%.
Senior VP & Head of Investment Recapital Asset Management Rio Ariansyah mengatakan, spread imbal hasil antara EBA dan SUN tidak berbeda jauh. Hal ini lantaran hampir seluruh EBA yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki peringkat yang tinggi atau idAAA dari PT Pemeringkat Utang Indonesia.
Peringkat tinggi tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, tidak sembarangan aset bisa dijadikan portofolio untuk instrumen tersebut. “Perusahaan harus menjadikan aset paling berkualitas dan terjamin pembayarannya sebagai underlying EBA,” ungkap Rio, Selasa (26/2).
Pada umumnya, EBA memiki portofolio berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, efek bersifat utang yang dijamin pemerintah, tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari, hingga jaminan pendapatan jalan tol seperti yang dilakukan oleh PT Jasa Marga (Persero) Tbk.
Rio menilai, investor perlu mencermati risiko likuiditas yang dimiliki oleh EBA. Karena instrumen tersebut tergolong baru di Indonesia, belum banyak transaksi yang berlangsung di pasar sekunder. “EBA terlihat lebih cocok bagi investor yang berorientasi hold to maturity,” imbuh Rio.
Edbert mengingatkan, walau aset yang menjadi portofolio EBA memiliki kualitas yang tinggi, investor tetap harus siaga. Dalam hal ini, investor mesti terus mengamati perkembangan kinerja perusahaan penerbit EBA yang bersangkutan.
EBA dianggap cukup unik mengingat kinerjanya tidak selalu mengacu terhadap sentimen yang beredar di pasar obligasi, seperti efek kenaikan suku bunga acuan atau pelemahan nilai tukar.
Dalam kondisi tertentu, pertumbuhan imbal hasil EBA lebih condong dipengaruhi oleh kinerja perusahaan yang bersangkutan. Alhasil, jika kinerja perusahaan penerbit EBA sewaktu-waktu mengalami penurunan, aset yang menjadi portofolio instrumen ini juga bisa terganggu.
“Potensi return bisa meleset dan yang paling buruk investor bisa dihadapkan pada situasi gagal bayar,” tambah Edbert.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News